Minggu, 27 Oktober 2024

Peserta Selundupan yang Beruntung



Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bertemu?”, ucap bunda Kanjeng mendayu. Senyum lebar tersaji di wajahku, rasa rindu seakan hadir merayu. “Bunda, aku juga rindu”, pasti akan kutunaikan rasa itu dalam temu.
Hari Sabtu, aku melaju menuju kota Batu. Bersama sahabat literasi yang menemaniku, kubawa semua rasa rinduku. Bismillah, jadikan ini sebagai bukti ikatan silaturahmi titah dari Tuhanku.
Aula luas nan megah tersaji di depan mata. Tak kaleng-kaleng daftar peserta yang berada di sana. Semua menghadirkan rasa kagum di dalam dada, ah apakah aku bisa berkawan dengan beliau semua. Suara hatiku berharap  bertalu bergema.

Ternyata benar, seorang penulis itu memiliki warna senada. Benang merah langsung terkait seketika. Rasa jengah cair dalam riuh canda. Hatiku berbisik penuh harap, aku ingin menjadi bagian dari mereka. Penulis hebat yang slalu menjaga konsisten dalam dunianya.

Genggaman tangan bunda mengajak aku turut serta. Menuju aula luas nan megah berkarpet merah. Menjadi peserta selundupan membuat aku merasa jengah. Sesaat kami segera larut dalam paparan narasumber yang luar biasa. Wawasan ilmu penulis, pengalaman beliau menjadi penulis menggaung merotasi udara dalam aula. Motivasi yang diberi bangunkan rasa malas yang selalu bertahta semena. Tekadku pun seketika membuncah, aku akan membuat buku solo ketiga. Walaupun sekarang itu hanya sebatas wacana semoga langkah kaki ini selalu terjaga. 

Beruntungnya aku, peserta selundupan yang hadir di ajang bergengsi kopdar penulis nusantara. Saat namaku dipanggil moderator dengan menggema. Untuk menerima hadiah berupa tanda mata.

Segera aku bergegas dengan cepat. Sebuah buku dari Pak Prof Ngainun kupegang dengan erat. Seakan tak ingin aku berpaling dari sampul bukunya walau sesaat. Semoga hadiah ini menjadi pengingat yang kuat. Untuk segera menulis buku solo dengan rikat.
Terimakasih atas ikatan yang tak bernama. Menerima orang baru ini tanpa memilah. Walaupun ilmu yang kupunya tak ubah seujung kuku jua. Tapi ketulusan beliau membuat dadaku bergetar penuh arupa rasa. Semoga Allah menjaga Anda semua dalam rindang kasih sayangNya. 

Alhamdulillah, segala puji bagi Robbku yang maha kuasa. Beruntung aku dipertemukan dengan teman-teman baru. Saling mengingatkan untuk selalu rajin menulis sesuatu. Menggores kertas dengan melodi yang merdu. Semoga semangat yang membuncah  hadirkan warna baru. Menghilir menguat dalam satu kata. Aku pasti bisa seperti mereka.


Minggu, 08 Oktober 2023

PEJUANG ILMU

 *Tarian Pejuang Ilmu*


Seberkas sinar pagi menyapa langit

Menyebar memberi dekap yang hangat

Berdentang genta kecil di nurani

Semangat membuncah, tak kunjung padam. 



Wadah ilmu kujinjing di bahu

Sesungging senyum iringi kicau nan merdu

Langkah kaki melompat di batas waktu

Tersenyum bunda dalam doa sendu. 



Tangan menggenggam berbagi keluh

Bersama sahabat penawar rindu

Saling kuatkan

raga yang letih lesu

Demi satu asa, ku tak kan luruh.



Jika hari ini kau menyerah

Pastikan esok kau akan melangkah

Masa depan tak semudah berkata

Harus berjuang sekuat tenaga. 


Boleh jatuh tapi jangan putus asa

Genggam erat seluruh cita

Lukis dalam rinai penuh warna

Sukses itu pasti milik kita. 



Kita akan mengguncang dunia

Lambungkan kisah sukses milik kita

Saling mendukung tak kenal lelah

Demi tugas belajar yang mulia. 


Jangan menyerah kawan

Kobarkan asa dan cita

Bersama kita pasti bisa

Karena kita adalah sang *JUARA*.

Senin, 21 Agustus 2023

MALANG


Pagi ini di kotaku

Dingin menyelusup ke tulang sulbi

Mengisi peparu dengan udara kaya nutrisi

Ditimpali siluet sang surya yang jengah

Menyemburat di antara kanopi dan pucuk cemara. 


Pegunungan menjulang laksana penjaga bentala

Membentang berdzikir dalam tapak kuasa Sang Ilahi

Sepotong surga yang diletakkan di sini, 

Di Kota Malangku ini. 


Senyum kami ramah membuncah

Menyungging di tiap sudut kota

Menggiring seribu langkah

Untuk kembali kesini 

mencumbui dalam renjana. 


Malang, 19 Agustus 2023

Rinaimu yang Palsu

 


Rinaimu yang Palsu

Oleh: Widya Arema

 

Langkah tertatih berbalut rimpuh

Air mata berkawin dengan peluh

Berderai membasahi hati yang rumpang

Hampa tiada tersentuh.

 

Secawan hati yang kusuguhkan di altar kisahmu

Kau ludahi dengan semena

Menjambak rasa sadarku

Akan semua kepalsuan latimu.

 

Aku jelata yang berjuang dalam rinaimu

Terhanyut dalam cinta berbalut senyum palsu

Katup hatimu terlanjur terbungkam

Kuketuk dengan semena

Namun tertutup tiada celah.

 

Kini aku akan pergi

Saat kulepas oksigen terakhir

Meninggalkan jejakmu

Yang kemudian lenyap ditelan sepi.

Senin, 14 Agustus 2023

RINDU

Tergugu aku di sudut keluh

Menggambar senyummu yang biru

Pada senja yang riuh aku merayu

Bolehkah kutitipkan sketsa rinduku. 


Tersekat rinduku, di ubun-ubun senja

Mendekap, merayu sang waktu agar mau sekedar singgah

Hadirkan rinai yang luruh dalam tapa

Melengkung, bersisihan dengungkan rapal mantra. 


Sungguh aku telah menitipkan pada sang bentala

Pelangi rasa resah berkawin renjana

Layaknya sindur beradu selimut malam di batas senja

Sekejap... 

Namun mencipta arupa warna. 


Untukmu yang tersenyum disana.. 

AKU RINDU


AKU RINDU

Kamis, 20 April 2023

Raya Yang Merindu

 

Raya yang Merindu

Oleh : Widya Arema

Bola mata dewa perlahan menuju singgasana. Seperti separasi layar kehidupan. Hitam, putih, jingga dan kelabu. Biru langit  mulai berubah warna, menyenja di belahan bumantara. Selimut malam mengganti tahta di bentala. Putaran rolnya bergetar cepat. Hingga riuhnya membuyarkan sekawanan burung yang sedang khusyuk berdoa. Berjejer di atas ranting sebuah menara. Kidung takbir bersahutan menembus lorong ruang dan waktu. Menghiasi malam yang panjang dalam lisan yang basah dengan dzikir dan doa. Suara beduk bertalu pertanda kemenangan dikumandangkan. Allohu Akbar..Allohu Akbar..Walilahilham.

Sang alam raya sedang berpesta. Langit berpendar arupa warna. Suka, duka, syahdu berkahwin dalam satu wadah angkringan rasa. Saat seluruh penjuru alam bersuka dalam takbir kemenangan. Terpuruk daku di sudut sepi. Meratapi sepotong hati yang perih, terkoyak, tercabik hingga berasa mati. Sepi dan hening yang kurasa. Hanya ada rindu yang tercekat di laring suara. Ibu..aku rindu.

Masih kuingat hari itu, telepon berdering memecah hening di ruang kamarku.

“Nduk, kamu sudah dua Minggu ini tidak pulang, bagaimana keadaanmu. Sehat kan Nduk, sapa suara lembut itu. Maaf bu, saya sedang sibuk. Tugas dari kantor semua menuntut untuk diselesaikan, “ucapku tegas.

“Oalah ya wes nduk jika begitu kondisinya. Kamu jaga kesehatan ya nduk, jangan lupa makan, “suara berkabut menutup bincang sore itu. 

Ternyata itu perbincangan terakhirku dengan malaikatku. Sakit struk mengambil semua batas kesadaran ibu. Suara yang biasanya menyerukan doa-doa kini hening. Tangan lembut yang mengelus rasa sakit, kini kaku dan lemah. Tatapan mata yang biasanya penuh semburat warna, kuyu hanya menyisakan denyut kehidupan yang masih ada. 

Seminggu kemudian,,

Gerimis turun membasahi rona bumi. Gulungan awan berlomba menutupi setiap sudut hati ku yang basah. Siang itu aku sudah berada di pemakaman. Tetesan bening netra membasahi kembang setaman yang ditaburkan di atas pusara. Suara adzan pelan ditimpali doa serta isak tangis bercampur seribu tanda tanya mengambang di sudut abu-abu. 

“Kenapa secepat itu ibu meninggalkanku?”

Suara teriakan lincah bocah-bocah membawaku kembali dari kenangan itu. Tahun ini lebaran ku tanpa dia. Dia muara tempatku berasal. Memandu jalan kupu-kupu hingga aku tegak menopang langit di atas kepala. 

“Raya kali ini sepi tanpamu Bu. Kue nastar, dan stik keju yang biasanya memalingkan pandanganmu, tlah berjajar rapi. Tersaji di atas toples berdebu, tak tersentuh. 

Sepiring juadah yang jadi makanan yang ibu wajibkan setiap raya mengepulkan aroma rindu. Seperti rindu anakmu, rindu yang lupa berteduh.


Kuhamparkan sajadah di sholat Iedku. Sejuta doa berotasi di pusaran rindu. Kutitipkan sepotong keluh dalam udara pagi itu. Ikhlas ucapku bertalu, tapi kenapa rasanya sesak menusuk sembilu? 

Suatu hari aku akan belajar itu Ibu. Belajar mengikhlaskan kepergianmu. Senyummu akan kulukis di setiap lanskap pelataran hatiku. Pucuk-pucuk rindu akan kurawat di siluet senjaku. Sedangkan bilur-bilur waktu yang menghilir, setia bercerita kisah tentang mu. Malaikat tanpa sayap. Kutengadahkan kedua tanganku. Dalam pejam mataku aku berbisik merayu. 

“Ibu, engkau sudah tenang bersama Robbmu. Memandang anakmu dari zona berbeda yang tak bisa kusentuh. Kutitipkan sejumput doa atas rasa terimakasihku. Tolong sampaikan pada Tuhan, pesankan aku tempat di sisimu. Agar suatu hari nanti, aku bisa berbincang denganmu. Menyentuh ujung kakimu sambil berkata, ibu...maafkan aku.





.Juara 1 tulisan prosais terbaik dari 106 peserta kelas menulis Babad

Sabtu, 08 April 2023

CURICULUM VITAE

Nama : Widya Setianingsih
TTL : Malang, 29 September 1975
Pendidikan : Jurusan S1 PAI UIN Maliki Malang
Alamat : Jl. Kol. Sugiono 7 A Malang Jatim
Nama Panggilan : Widya Arema
Pengalaman : 
1. Pimred Kharisma dari tahun 2010- sekarang
2. Ketua GELEM (Gerakan Literasi Madrasah) 
2. Blogger, penulis, motivator dan editor

Rabu, 22 Maret 2023

OJO DUMEH (Don’t Just book from the Cover)


“Janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan bisa jadi kamu mencintainya”.

Layar virtual telah tersaji di depan mata. Wajah-wajah sumringah satu-persatu mulai berlaga. Sesaat terdengar beberapa suara ramah saling  menyapa. Ada pula yang saling bertukar kabar karena terlewat kesibukan yang begitu mendera. Sesaat pandanganku terpaku pada sesosok wajah. Seraut wajah manis berkacamata, dengan aksesoris headseat di kepala. Senyum mengembang ala artis yang tebar pesona. Beberapa dari peserta rupanya kenal dengan dia. Dengan gaya renyah menjawab semua sapa dari peserta dengan ramah.

Kuingat wajah ini beberapa kali sering kutemui di layar zoom. Saat aku membawakan acara, orang ini selalu nongol dan menguasai layar dengan semena. Rasa kurang sukaku padanya semakin bertambah takarannya. Penilaianku  gayanya sok keren dan sok iyess. Seketika terpaku dalam benakku, “aku tidak suka dengan orang ini” ucapku.

”Siapa sih dia, yang jadi host kan gue. Kenapa hampir di setiap acara orang ini selalu nongol dengan seenaknya. Bikin mood gue menguap seketika”, batinku penuh rasa jengkel. Belakangan baru kutahu kalau dia memang selalu dipinta teman-teman untuk memback-up acara virtual. Karena dianggap teman-teman memiliki sinyal yang paling kuat. (coz suka bawa tower kemana-mana, he he he he)

            Rasa penasaran dan jengkel berkawin menjadi satu. Tentu saja rasa jengkel tetap jadi pemenangnya. Kusimpan segala rasa penasaran tentangnya dalam hati. Pun aku tak pula bertanya pada sobat onlineku tentang siapa dia. Who is she?

Hingga saat pertemuan kelas belajar selanjutnya. Tiga kali berturut-turut aku dipinta founder kelas belajar untuk menjadi ketuanya. Bukan karena kemampuanku sih, karena di atasku masih banyak langit yang melebihi potensiku. Aku anggap ini sebagai amanah untuk  men-challenge diriku dalam leadership. Rapat dan pertemuan ruang virtual segera di gelar. Menentukan siapa yang jadi petugas dan narasumber di tata dalam jadwal yang terencana. Bismillah, kelas sudah siap untuk dibuka. Sebagai ketua pelaksana aku selalu berusaha memastikan kelas tidak kosong saat jam belajarnya. Jika ada narsum yang tidak bisa, team sigap sat set wat wet meroling, menghubungi dan reschedule ulang jadwal dengan tepat. Beruntung aku memiliki teman-teman sigap yang bekerja tanpa pamrih dengan totalitas  luar biasa.

 

Saatnya perekrutan tim inti. Ada beberapa nama yang dimasukkan dengan usulan kawan senior karena dianggap mampu dan bisa bekerjasama. Kukernyitkan keningku, saat membaca “orang itu” ada dalam salah satu nama yang dimasukkan jadi panitia inti.

“Beb, ini banyak sekali orang baru di grup inti, bisa-bisa bukan jadi grup inti lagi ne”, protesku pada Bintang sahabat karibku.

Bintang menjawab dengan satu ucapan favoritnya, ha ha ha…iya.

Akupun tak banyak bertanya lagi tentang dia, ga penting ucapku. Lagian dia juga jarang melontarkan komentar di grup. Kuanggap “dia” hanya pelengkap saja. Hingga saat kelas belajar hampir memasuki putaran akhir. Si Dia sudah dua kali tak menjalankan tugasnya. Kemarahan dan timbunan rasa jengkel yang terpendam membuncah seketika. Kulabrak Bintang yang kuanggap kenal dengannya.

“Beb, siapa sih ne orang, enak banget menyerahkan tugasnya sebagai moderator pada orang lain. Jadi orang ga bertanggung jawab banget dia. Sini bagi nomernya ke aku, aku akan japri dia, liat saja akan kulibas dan kumarahin. Oh ya lain kali jangan diberi kesempatan lagi untuk menjadi petugas. Heran, aku ga ada tanggung jawabnya sama sekali, sudah ga pernah aktif di grup remehin tugas lagi” ucapku marah pada sobatku.

 

Bintang mencoba meredakan amarahku. Uniknya sobatku satu ini punya kemampuan seperti es. Mampu mengademkan otak dan amarahku.

“Sudah cinta..biar aku saja yang sampaikan. Dia sedang sibuk PPG, ga pa pa aku yang akan hendel tugasnya,”ucap Bintang dengan intonasi lembut seperti biasa. Dalam hati aku masih bertekad akan menegur dia dan memberi pelajaran. Karena tergerus kesibukan akupun terlupa. Hal yang kemudian saat ini aku syukuri. He he he.

Mindseat aku tetap bertahan dengan angkuhnya, si sok iyess yang banyak gaya. Ha ha ha ha.

 

Si Sok Iyess, yang kuketahui bernama Senja ini rupanya seorang ahli IT. (bahkan sekarang kuketahui dia seorang yang multitalent). Saat kelas belajar mengadakan acara Temu Penulis, aku dipercaya menjadi sie acara. Karena beberapa kesibukan yang menyita, sang sekretaris kurang bergerak dengan cepat. Suatu hari dilayar HP kulihat ada flyer yang tersaji. Hemm cukup bagus. Sesaat kuketahuinyang membuat adalah si Dia. Berhubung yang membuat Senja dan dia tidak masuk dalam susunan panitia, segera kucancel flyer itu dengan semena. “Maaf mohon tidak memakai flyer ini, karena kita sudah memilki sekretaris yang dapat bekerja sesuai job discnya”. Jika kuingat-ingat saat ini, aissh jahatnya aku.

 

Hingga acara kopdar berlangsung, aku bertemu dengannya secara langsung. Aku melirik sepintas gaya dan penampilannya. Untuk menjajagi fighting he he he. Heem gayanya unik, berseragam batik tapi bawahannya celana bersepatu kets. Cool banget. Kuacungin jempolku untuk memuji gayanya yang kurasa gila. Dalam hati ku berkata, gile banget nee orang acara resmi beraninya bergaya santai.

 

Saat membaca puisi lucu, Bintang menyodorkan namanya untuk mengganti seorang kawan yang mendadak tak bisa. Karena situasi yang sudah mendesak, aku anggukkan kepala dengan terpaksa. Itu pertama kali aku bicara dengannya sebagai seorang kawan.

 

Semakin kesini hubunganku dengannya menghilir seperti air. Bintang menawarkan kita video call bertiga untuk membahas suatu acara. Baru terbukalah semua pemikiranku tentangnya. Mindseatku tentangnya sok iyess, menguap seketika. Setelah beberapa kali berkomunikasi dengannya, memang dia iyess kok. Gayanya yang cool, menyembunyikan beragam talentanya yang luar biasa. Dan satu lagi yang membuat aku segera klik dengannya. Level “edan” kami ternyata sama. Rupanya Bintang tak pernah menyampaikan setiap keluh kesah kami masing-masing. Karena Jingga rupanya juga memilki rasa sebel padaku, karena sikapku yang senioritas dan cukup arogan.  Bintang menyimpan dengan rapat, dan memiliki misi untuk menyatukan kami berdua. Bintang berpikir sebenarnya  dua orang ini bisa klik karena memiliki beberapa kesamaan.

 

Satu pelajaran berharga yang kudapatkan, jangan cepat menilai orang dari penampilannya. Bisa jadi dalam dirinya ada pijar yang akan  memberikanmu  rasa hangat. Bertiga kami akan melangkah mencocokkan setiap puzzle agar terkait dan bisa memberi makna.   

 

Pada kalian sahabatku, kutitipkan hati ini untuk selalu merindu dan menghilir dalam setiap temu.

 

 

 

 

 

 

 

Senin, 13 Maret 2023

SENJA

 SENJA



Senja hari ini terlalu jingga

Membias menutupi pucuk cemara

Lentik sinar emasnya

Membawa kerudung malam

Mengkidungkan rintihan nan sepi. 


Senja ini aku pulang

Akankah tari sukma menyambut lara? 

Menutup luka perih

Mencumbui sunyi

Dalam keagungan Sang Dewi. 



Bulan edari sang perawan

Menciduk hati yang hampa

Setenggak harapan yang pernah ditawarkan

Menguap ditimpali lukisan malam. 


Kepakan camar tarikan rintih malam 

Mejingga di siluet mata dewa

Nanar menatap pemilik hati,

yang kosong setia menunggui pagi. 


Senja tak pernah ingkar janji

Melingkupi senyap temaram  

Esok kan bawa sejumput pagi

Menghadirkan riuh lukisan

Berwarna-warni.

Rabu, 04 Januari 2023

 


"What is a friend? A single soul dwelling in two bodies." Aristotle

Apa itu sahabat? Satu jiwa yang tinggal dalam dua tubuh.

 

Ikatan persahabatan sejatinya berkaitan dengan emosi dan psikologis yang dalam dari dua orang atau lebih. Di mana bahan bakarnya adalah kesetiaaan, kekariban dan kasih sayang. Layaknya makhluk sosial yang memerlukan individu  lain untuk melengkapi jalan hidupnya. Dan jika ada orang yang tak bisa hidup tanpa sahabat, itu adalah SAYA.

Sangat menyenangkan dikelilingi teman-teman yang baik dalam hidup. Akan tetapi hidup lebih berwarna jika memiliki sahabat. Seseorang yang kita panggil ‘RUMAH. Tempat kita berbagi kisah, berkeluh kesah, berbagi tawa dan tangis atau bersama mentertawakan kerasnya hidup.

Dalam kisah kali ini saya tidak hanya bercerita tentang satu sahabat, tapi saya akan bercerita tentang tiga sahabat saya. (sstttt karena ketiga-tiganya bergabung di antologi yang sama, bisa geger negara api jika hanya menulis salah satunya wkwkwkwk)

Yang pertama, seseorang yang kupanggil ‘rumah’ adalah Chaula Handayani. Ikatan persahabatan kami terjalin cukup lama hampir 17 tahun. Ada sebuah ungkapan bahwa seseorang akan berkumpul dengan golongannya yang sekufu. It’s alright. Ibarat peribahasa Jawa kaya mimi lan mintuna. Hubungan dua orang yang erat, dan sepadan. Ya itulah kami. Pemikiran, ide, hobi, kegemaran bahkan level “kegilaan” kami sama. Bonding yang terjalin begitu kuat. Feeling yang tercipta ter senada. Apalagi kami sama-sama menjadi team teaching. Partner dan rekan kerja di kelas satu.

Selama 10 tahun kami membangun mimpi berdua, memiliki dunia kecil di mana hanya ada aku dan dia. Bersamanya terpenuhi segala rasa, tercukupi segala pinta. Apa yang kupikirkan belum tersampaikan dia sudah merasa. Saat hatinya gulana, mulut belum terucap aku sudah mengetahuinya. Kami tak butuh siapapun jua. Its enough for me and her. Waktu Minggu yang menjadi penanda satu pekan seringkali kami salahkan. Karena menjadi jeda bagi kami untuk tak bersua. Hanya satu hari berselang, tapi cerita yang ingin  kami rajut berdua begitu sesak membuncah. Ahh kami seringkali tak sabar untuk segera berjumpa.

Satu kebiasaan yang acap kami lakukan berdua adalah jalan-jalan. Biasanya dalam satu Minggu selalu ada waktu untuk kami berdua merefresh segala penat. Entah itu jalan ke mall, makan di restoran atau sekedar jalan-jalan di taman Kota Malang, Sambil hang out berdua ada saja cerita lucu yang membuat suasana riuh dengan tawa. Jika kalian bertanya apa ndak bosan selalu berdua? No… tidak. Karena setiap hari selalu tersaji menu dalam warna yang berbeda. Kadang hijau, biru, hitam atau merah muda. Bagaimana kami merasa bosan jika kebersamaan kami layaknya udara yang kami hirup? Kami sesak napas tanpanya. Merasa lelah tanpa rumah tempat berdermaga, dan tak bisa terbang jauh dengan sayap yang patah. Persahabatan kami solid. Saling menguatkan, mengukuhkan dan melengkapi. Aku adalah seseorang yang merasakan berlipat sakit saat sahabatku terluka. Aku adalah seseorang yang merasakan berlipat sedih saat sahabatku nelangsa. Itulah gambaranku yang mencintai sahabatnya begitu dalam.

 Hingga Allah bekehendak lain, kami terpisahkan oleh suatu peristiwa. Rupanya Allah ‘cemburu’ dengan cinta kami berdua. Cinta yang terlalu. Allah hanya ingin ciptaanNya lebih mencintaiNya di bandingkan mencintai makhluk lainnya. Di usia pertemanan kami yang ke 10 Allah menguji kami berdua. Chaula adalah sosok yang erat memegang teguh prinsipnya. Apalagi jika itu berkaitan dengan harga diri. Sebuah peristiwa terjadi di sekolah kami hingga menyentil harga diri dan mengusik prinsip hidupnya. Kekokohan hatinya saat itu setegar karang. Segala bujuk, rayu hingga ancaman dariku tak membuatnya bergeming. Ia memutuskan keluar dengan meninggalkan sekeping hati yang patah. Akhirnya diusia persahabatan kami ke 10 dia pergi meninggalkanku. Kami sama-sama nelangsa karena tlah kehilangan rumah.

Runtuhlah duniaku sejak saat itu. Hari-hari yang suram terus menaungiku. Ku ingin berteriak pada dunia, aku jatuh tanpamu. Tapi seolah dunia menutup mata dan telinga atas protes kami berdua. Selang tiga-empat bulan kami baru bisa move on menerima segala suratan cerita. LDR kami lalui. Sebagai gantinya pesan whatsApp menjadi pengganti diri. Dalam satu bulan kami sisihkan satu hari untuk bersama-sama. Me time. Menghapus jutaan rindu dan mengalirkan kisah yang terbendung bagai aliran air tersumbat yang membuncah.

Kini persahabatan kami telah memasuki angka 17, ternyata jarak tak menghalangi rajutan rasa sayang kami berdua. Insyaallah kami akan tetap bergandengan tangan menua bersama.

                                                            -----000-----

Engkau seperti pagi, berpijar bak mentari yang mengepakkan sayap semangat

Kau adalah mentari yang selalu datang dengan 'selamat pagi' yang mengingatku

 saat kesedihan datang

Dan tetap tinggal saat senyumku kembali terang.

 

Mungkin di antara pembaca ada yang mengenali gaya bahasa pada diksi di atas. Diksi yang levelnya jauh di atasku. Deretan kata apik yang membuatku jatuh cinta pada penulisnya. Ya jatuh cinta. Jika biasanya cinta datang dari mata, maka kali ini cinta datang dari rasa. Betul rasa keindahan.

 

Awalnya hubungan kami hanya sebatas peserta dan narasumber. Tempatku bertanya, diskusi dan sharing. Aku adalah seseorang yang memulai hubungan dengan mengandalkan intuisi. Saat feelingku merasa ‘klik’ maka aku akan melangkah. Berdiskusi dengannya aku merasa nyaman, dan enjoy. Aku memberanikan diri mendekatinya. Seringkali aku repotin dia dengan pertanyaan seputar menulis. Walaupun itu hanya alibi untuk lebih mendekat padanya.

 

Ibaratnya putaran waktu, semakin aku berlari semakin menjauh. Semakin ku mendekat kian menghindar. Sikap dinginnya acapkali mencipta gigilku. Kesombongannya membuatku semakin kukuhkan hatiku. Aku pasti bisa membuatnya membuka diri untuk singgah di hatinya. Mengalir saja rasa sayangku hadir untuknya.  Entah karena sang waktu yang lelah berlari, atau hati yang mendingin itu mencair. Akhirnya perlahan ia membuka pintu hatinya untukku.

 

Butuh usaha untuk menaklukan hati batu itu. Hati yang dia bentengi dengan karang hanya untuk membatasi kisahnya dari dunia luar. Saat bersamanya aku menjadi kakak yang  siaga melindungi adiknya. Menjadi sandaran bagi rasa gelisah dan sukanya. Aku siapkan diriku untuk menjadi rumah baginya saat dia ingin pulang.

 

Hubungan persahabatan itu seperti halnya pacaran, Kadang tenang dan acapkali bergejolak bak air pasang. Itu yang sering kami alami. Kuakui merawat hubungan persahabatan LDR itu jauh lebih melelahkan ketimbang bersahabat di dunia nyata. Acapkali kesalahpahaman mewarnai kisah kami berdua. Perbedaan bahasa, latar belakang budaya turut andil di dalamnya.

 

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri. Deretan bulan dan tahun bukan jaminan bagi persahabatan untuk lepas dari perselisihan. Tidak peduli besar atau kecil permasalahannya. Berselisih dengan sahabat seringkali membuat kita merasa serba salah. Itu yang selalu sama-sama kami rasakan saat aura seteru melingkupi.

 

Sebab masalah hanya sepele, PERKATAAN. Yup terkadang salah memahami kalimat. Salah dalam penyampaian, meruncing pada salah paham yang menaikkan level emosi. Intinya kami sama-sama batu. Orang yang keras kepala dan enggan mengalah. Tapi semua itu tak pernah berlangsung lama. Cukup dua hari saja. Satu hari untuk instropeksi, dan satu hari untuk saling menyampaikan keluh kesah. Dan kelarlah masalah hanya dalam dua hari.

 

Terkadang konflik bisa menjadi tolok ukur persahabatan. Apakah engkau hanya teman biasa ataukah benar-benar seorang sahabat sejati. Konon semakin banyak berantem dan kamu memilih tetap bertahan satu sama lain. |Itu artinya kalian adalah sahabat sejati. But, jangan dicoba berseteru yaa, rasanya benar-benar tidak enak.

 

Kini usia persahabatan kami memasuki tahun kedua. Anehnya setiap kali berselisih seolah menambah takaran cinta dan sayang kami satu sama lain. Insyaallah kami semakin memahami satu sama lain. Mencoba bertahan walau dalam hubungan yang sebatas pesan dan emoticon.

 

Kalian masih penasaran siapakah sahabat onlineku? Yaa dialah Maydearly the Queen of diction. Si Jaim yang lembut hatinya.

 

-----000-----

 

Dewasa, renyah dan humble. Siapa yang tak ingin bersahabat dengan sosok yang demikian. Dia yang selalu mendukungku.  Ringan tangan, dan selalu siap membantu. Selalu bersedia menjadikan dirinya ‘rumah’ bagi setiap kisah warna-warniku.

Kami bergabung dalam kelas menulis yang sama. Yaitu di gelombang 21. Saat itu kami sama-sama menjadi panitia closing. Sering diskusi dan zoom bareng. Belum ada sinyal untuk bersahabat. Just friend saja. Kemudian dia mengulang di gelombang 24. Saat itu secara tak sengaja kami lebih intens berkomunikasi dan berdiskusi.

Semakin ke sini banyak kecocokan tercipta di antara kami berdua. Betul kiranya ungkapan sahabat adalah satu jiwa dalam dua raga. Dua raga yang berbeda tapi seolah sama. Langkah kami senada dalam rasa yang seirama. Mengalir saja. Tergelak dalam canda, empati saat berduka dan tertawa jumawa dalam derai perayaan. Ringan tanpa beban. Saling membully dan mencandai. Tak ada rasa emosi yang menjadi. Karena kami sama-sama tahu, hati kami hanya ingin sekedar menghibur diri.  Kami sadar di antara kami banyak perbedaan. Jika ada dua sisi sungai, selalu  ada jembatan untuk menghubungkan. Jembatan kami adalah rasa kasih sayang. Alangkah serunya menerima segala perbedaan untuk bersama melukis satu keindahan.

Apa karena usia tak jauh beda  menjadikan kami selangkah? Maybe yes or no. Saat ini kami hanya merasa nyaman saat bersama. Kokoh saat merajut asa. Cukup sudah menjadi alasan  kuat bagi kami untuk tetap berjalan bersama. Bersamanya aku berani melukis warnaku apa adanya. Tanpa pencitraan dan tendensi aneka rupa. It’s me ucapku. Inilah wajahku tanpa topeng sempurna. Semakin dekat dengan seseorang akan tampak siapa aku adanya. Aku akan menampakkan sisiku yang berbeda. Sisi yang terkadang tertutupi oleh tuntutan  zona nyaman. Warnaku biru bukan putih abu-abu. Hebatnya Tazah mau menerimaku tanpa penawaran.

Jangan mengharap orang lain melewati samudra, jika kau sendiri tak mau melewati genangan air untuknya. Kami siapkan ruang hati untuk tempat berbagi. Merelakan sebagian waktu untuk berkomunikasi. Walau itu hanya sepatah kata dan emoticon sebagai wujud kami saling peduli.

Tazah Emut kepadamu kutitipkan sekeping rasa cinta untuk kita jaga bersama.

 

-----000-----

Saat hati mulai terketuk dengan uluran kasih sayang, segera bukalah pintu hatimu. Jarak, ruang dan perbedaan bukan menjadi alasan untuk menghindar. Karena Allah tak membutuhkan alasan saat menitipkan sepotong rasa cinta pada hambaNya. Tergantung pada kita. Membunuh bibit cinta itu sebelum berkembang, ataukah merawatnya hingga bertunas dan bercabang. Hingga kelak dahannya yang rindang memberi rasa teduh untuk bersandar.

Jika ingin mendapatkan sahabat yang baik, tanyakan pada dirimu. Sudahkah engkau menjadi sahabat yang baik pula. Jika memiliki seorang sahabat genggam erat dia, jaga dan rawatlah dengan sepenuh cinta. Karena melepaskan itu lebih mudah daripada mendapatkannya.

 

"I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light" Helen Keller

Aku lebih suka berjalan dengan seorang teman dalam gelap, daripada sendirian dalam terang

 

 

 

 

 

 

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...