Hidup Kedua
Widya Setianingsih
"Kesuksesanmu diukur dengan kekuatan keinginanmu; ukuran impianmu; dan bagaimana kamu menangani kekecewaan di sepanjang jalan." - Robert Kiyosaki.
Dear diary ku ingin bercerita
Bermimpi bertemu dengannya
Begitu senangnya hariku
Tenang saat kutatap matanya
Pernahkah kita mengalami fase seperti ini? Fase cinta monyet. Di mana buku diary pink selalu menemani segala aktivitas kita. Buku diary yang menampung segala curhatan. Setiap kejadian selalu kita tulis. Mulai bahagia, sedih, gembira dan bermacam warna perasaan kita senang dalam diary. Sebenarnya tanpa kita sadari saat itu kita sudah melakukan self healing.
Sebenarnya apa itu Self healing?
Menurut Kompas.Com Self healing adalah proses pemulihan yang kita lakukan untuk
menyembuhkan diri dari luka batin di masa lalu. Luka batin yang dimaksud
termasuk gangguan psikologis, trauma, pengalaman buruk atau kejadian lainnya
yang memberikan dampak buruk pada kondisi emosional kita.
` Saat kita menulis diary di setiap kejadian,
sebenarnya kita telah belajar mengenali berbagai perasaaan yang telah kita
alami. Seusai menuangkan segala perasaan dalam bentuk tulisan, ada rasa lega,
nyaman dan kepuasaan batin yang hanya kita yang tahu. Di situlah self healing bekerja
menyembuhkan segala perasaan kita yang terluka.
Manusia dicipta oleh Allah dengan
segala kodratnya. Kelebihan dan kekurangan yang ada pada setiap diri manusia merupakan rangkaian puzzle yang saling melengkapi satu
sama lain. Setiap harmoni kehidupan yang kita lakukan dalam putaran waktu
selalu menggoreskan berbagai macam warna. Luka, kecewa, marah, merupakan bumbu
penyedap diantara rasa bahagia yang menjadi penyeimbang takaran kehidupan. Itu
semua adalah sunnatullah yang tidak dapat kita pungkiri. Bahkan Allah sudah
mengingatkan kita dalam surat Al Baqarah ayat 214 yang artinya sebagai berikut
:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana yang dialami
orang-orang terdahulu sebelum kamu?...:ingatlah sesumgguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat.”
Seperti halnya opera kehidupan yang
dialami setiap insan, akupun mengalami juga warna-warni peristiwa yang membuat hidupku seperti rangkaian roller
coaster. Kadang berderai tawa saat berada di puncak piramida, tapi pernah pula
jatuh di titik terendah hingga luruh berkalang air mata. Kecewa, ya tentu saja
aku pernah patah. Menyalahkan diri sendiri hingga diri seolah terdakwa. Menulisi
dinding waktu dengan penyesalan yang kian membunuh kesadaranku, meluluh lantakkan
pertahanan diriku. Aku terpuruk merangkak di sela-sela kehancuran yang kutertawai
sendiri. Disitulah aku butuh obat untuk menyembuhkan diri.
Self healing membantu memulihkan
luka batinku. Travelling tadabur alam. Menjejaki rimbunnya jenggala, menghembuskan kesejukan bagi jiwa
dan daksa yang lelah. Menatapi lukisan buana dan mencecapi aroma kebebasan
peparuku menyaring udara. Sesaat luka yang menganga menemui obatnya. Pelarian
semacam itu seringkali kulakukan. Walaupun yang kudapatkan kenyamanan sesaat
tapi cukuplah mengobati rasa kecewa dan penat di dada.
Tapi
saat ini kala pandemi melanda, segala ruang tersekat, membuat langkah kakiku
tak lagi rikat. Aku butuh self healing dalam bentuk lainnya. Qadarulloh aku
dipertemukan dengan orang-orang hebat yang melatih jemariku gemulai menari di
pusaran aksara. Disitulah aku mulai berkenalan dengan dunia menulis. Kutuangkan
segala perih dan luka dalam goresan kata. Di situlah aku menemukan secercah
cahaya, yang dapat mengobati segala luka.
Ada
satu trauma yang hingga sekarang membayangi hidupku. Hadir dalam mimpi-mimpi
burukku hingga ku sering terjaga dengan keringat dingin menderas. Hari ini
ingin kutuangkan segala cerita itu. Kubagi segala trauma, semoga dengan
mengalirnya berjuta kata, segala resah dan trauma sedikit mereda.
Kuingat
sekali hari itu tepatnya tanggal 1 Januari 2018. Awal tahun baru. Kami lima
bersaudara perempuan semua. Saat itu kakakku yang nomer 3 baru saja mendapatkan
tunjangan inpassing. Dan untuk merayakannya kami sekeluarga di ajak piknik di
pantai. Perlu di ketahui pantai di Jawa Timur masuk dalam kawasan pantai Malang
Selatan. Di mana terkenal dengan ombaknya yang besar dan arusnya yang deras.
Pantai Balai Kambang menjadi destinasinya. Malam hari aku menyampaikan rencana
ini, dan suami sepertinya keberatan.
“Kemarin kan baru pulang dari wisata di Bakti
Alam Pasuruan ma, ujar suami menyampaikan keberatannya. Tapi aku terus merayu
tanpa lelah. Dan akhirnya suami berkata,
”Ya
wes berangkato, tapi aku gak ikut loh yaa, aku capek kemarin kita pulang sudah
malam.”kata suami mengiyakan.
Yess
ujarku sambil tertawa. Tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya suamiku tak rela
melepas kami bertiga rekreasi tanpanya.
Esok
harinya sesuai rencana kami berangkat saat Dhuha. Di sepanjang perjalanan canda
tawa, dan cerita mewarnainya. Kakak-kakakku
sangat jenaka dan pandai meramu joke-joke kocak yang membuat suasana lebih
ceria. Kami 4 bersaudara berangkat dengan keluarga masing-masing dengan
mengendarai Hiace. Tak disangka ternyata semua orang memiliki rencana yang sama
dengan kami. Sepanjang perjalanan sesak dan macet melanda. Semua ingin ke
pantai untuk merayakan datangnya awal tahun baru. Semakin memasuki daerah
pedesaan, kendaraan semakin sesak berjubel hingga memenuhi marka. Bahkan
kendaraan truk yang harusnya mengangkut barang, sekarang dijejali manusia.
Kotak-kotak pengeras suara memutar musik yang membuat pekak telinga. Laju
kendaraan tertatih, diiringi musik yang gegap gempita.
Sepanjang
kilometer terakhir kemacetan semakin tak terurai. Bau gas karbon monooksida
berkawin dengan debu jalanan kian membuat semua pengendara tersiksa. Perjalanan
yang biasanya kami tempuh dengan waktu 3 jam, mengular menjadi 9 jam. Alamak
lama amat. Ditambah lagi tempat wisata yang kami tuju ditutup, karena sudah
terlalu sesak pengunjung didalamnya. Di sepanjang garis pantai Malang Selatan
berjejer pantai-pantai yang tak kalah indahnya. Ada pantai Karang Dowo,
Ungapan, Teluk Asmara, Bajul Mati, Sendang Biru dan pantai Goa Cina. Akhirnya
tujuan kami mengarah pada Pantai Goa Cina.
Waktu
menunjukan pukul 17.00 wib. Tak terkira senangnya akhirnya kami mantai juga. Di
sinilah awal mulai terjadinya trauma. Trauma yang membuat 3 tahun terakhirku
tidak berani mengunjungi pantai. Saat itu laut sedang surut. Menunjukkan segala
keindahan flora dan fauna di dalamnya. Lautan biru terbentang bak permadani.
Langit dan dan lautan seolah bergandengan tangan dengan erat di batas
cakrawala. Semburat warna jingga, sebagai pertanda sesaat lagi senja akan merekah.
Tercium udara pantai segar berbaur asin
menambah aroma bahagia.
Sebenarnya
kami sadar bahwa ombak di pantai ini cukup besar, tapi karena surut jadi
sepertinya tak menjadi masalah jika kami
turun bermain-main air sejenak. Apalagi perjalanan yang cukup lama, seakan
tertebus dengan melihat pemandangan indah yang memanjakan mata. Kakak perempuan
menunjuk gumuk pasir (gundukan pasir
dengan diameter sekitar 4 meter) di 3
kilometer garis pantai. Ada beberapa orang yang juga bermain di sana. Baiklah
ayo kita ke sana, ucapku. Kami bertujuh segera menuju ke gumuk pasir. Jalan yang
kami lalui cukup terjal, berbatu karang runcing dengan kedalaman air se lutut. Saat
itu aku dengan dua anak lelakiku, kakak perempuan, suami dan anaknya dan satu
keponakan perempuan. Kami bertujuh
mendatangi gumuk pasir itu. Betapa senang kami bermain air dan pasir disana.
Gundukan menyerupai bukit kecil itu seakan spot yang tepat untuk menikmati
lautan lepas tiada batas. Pasir lembut nan putih, dihempas riak gelombang
berbuih menemani kami untuk bermain mencandai alam. Hanya 30 menit kami
bermain, setelah itu air laut mulai pasang. Kami bersiap untuk segera
menyeberang kembali ke tepi pantai. Hingga kemudian kami keliru mengambil jalan
kembali ke tepi pantai. Disitulah awal mula terjadinya tragedi.
Harusnya
kami mengambil arah sebelah kanan, tapi kami keliru mengambil arah sebelah
kiri. Arah kanan kembali ke pantai sedangkan arah kiri menuju lautan lepas. Awalnya
kakak iparku menyusul anak sulungku dan ponakan yang tiba-tiba hampir
tenggelam. Air pasang datang begitu cepat. Air yang awalnya sepaha sekarang
mencapai leher. Dua anak laki-laki itu melambaikan tangan tanda hampir
tenggelam. Kakak ipar segera berenang menggapai anaknya dan sulungku. Kami
berempat seakan terpaku, dan ikutan keliru mengambil arah kiri juga. Anak
bungsuku saat itu berusia 5 tahun. Kugendong dengan erat di depan. Tak terbayangkan
jika tadinya dia kugendong di belakang, entahlah bisa jadi terbawa air pasang
duluan.
“Mama..mama.”.
kata si bungsu Bisma gelagapan di sela-sela air laut yang masuk ke mulutnya.
Kugendong
erat tubuhnya, sambil berkata “Pegang erat mama dek, jangan dilepas”.
Sementara
kedua tanganku memegang erat tangan kakak dan keponakan perempuan. Kakak ipar
memegang dua anak laki-laki. Laut lepas tepat berada di belakang kami. Sepandai-pandainya
atlet perenang, tentu kuwalahan menghadapi derasnya gelombang pasang, Kaki kami
sudah gemetaran menahan ganasnya gelora lautan pasang. Kami terdorong ke depan
oleh air pasang dari arah belakang, dan mundur kembali disapu hempasan ombak
dari arah depan. Kondisi stuck yang
membuat kami tidak bisa beranjak dari tempatnya. Pertahanan kami hanya dengan
saling bergandengan tangan untuk mempertahankan diri agar tidak terbawa arus
pasang ke belakang.
Air
laut biru pekat pertanda laut lepas mengarah ke samudra. Sempat ku menoleh ke
lautan lepas sambil berujar, “Ya Allah andai ini adalah akhir dari hidupku, aku
pasrah,” batinku menciut gemetar. Yang membuatku bertahan terus berjuang menghadapi
ombak pasang adalah si bungsu dalam gendongan. Ia mulai gelagapan karena banyaknya debit air
laut yang dia minum. Air laut memang sudah menjalar seleher. Tak kuhiraukan seberapa air yang sudah
kutelan. Aku merapalkan segala doa keselamatan yang terlintas dalam kepala
disela kepanikan yang melanda. Allah..Allah..Allah berikan pertolonganMu kepada
kami.
Andai
di shoot dari atas memakai kamera ground mungkin kami seperti 7 titik hitam di tengah
hamparan birunya lautan. Betapa kekuatan manusia hanyalah sebutir pasir di
tengah hamparan IradahNya. Lantas jika kekuatan alam saja tidak bisa engkau taklukkan,
bagaimana bisa engkau begitu jumawa menghadapi dasyatnya Kuasa Sang Maha
Pencipta?
Rupanya
Sang Pemberi hidup masih berkehendak lain. Setiap takdir yang telah tertulis di
Lauful Mahfudz bersifat pasti. Tidak dapat dimaju atau mundurkan. Semua sudah
dipastikan hari, jam, hingga detik terakhirnya. Bahkan dalam Al Quran yang
mulia telah ditegaskan.
“Dan setiap yang bernyawa
tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagaimana ketetapan yang telah
ditentukan waktunya.” (Qs Ali Imron 3 : 145).
Allah
masih mengizinkan kami menapaki kehidupan. Mungkin masih ada misi yang belum
kami selesaikan. Ada salah pada manusia yang belum kami pertanggungjawabkan.
Dan ada dosa yang belum kami sucikan dengan taubatan Nashuha. Qadarulloh
datanglah seorang penolong yang menyelamatkan hidup kami. Seorang laki-laki
berbadan cukup kekar. Awalnya dia hanya
berteriak-teriak memberikan tutorial jalan mana yang harus kami lalui.
Mengingat seakan semua tertutup oleh air lautan yang mulai pasang.
“Kekiri…mbak..kiri..terus..terus..!!!”
Dia berteriak-teriak sambil tangan kirinya diayun-ayunkan memberi arahan.
“Mas..tolong..tolong…!!!”
teriak kakak perempuanku menghiba.
Jika
bukan karena Allah yang menggerakkan hati penolong kami, mungkin dia tidak akan
mau mempertaruhkan nyawanya menolong 7 orang yang hampir saja tenggelam.
Penolong itu segera berenang menghampiri kami, di pegangnya tanganku karena aku
yang paling beresiko mengingat sambil menggendong anak. Dia menggiring langkah
kaki kami menuju jalan yang benar. Selangkah-demi selangkah kami maju. Saat
ombak menghantam dari depan kami bertahan. Saat ombak menghempas maju kami
secepatnya melangkah. Perjuangan yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5
menit tapi seolah bermenit-menit. Mengingat nyawa kami menjadi taruhannya.
Semakin ke depan air semakin turun ke pinggang. Dan Alhamdulillah akhirnya kami
bisa mencapai tepian pantai dengan selamat.
Segera
ku condongkan tubuhku untuk sujud syukur. Adzan maghrib menambahkan suasana
senja yang syahdu. Dalam linangan air mata aku mengucap rasa terimakasih atas
kesempatan hidup kedua yang telah dianugerahkan Allah yang Kuasa.
“Terimakasih
ya Allah atas pertolongan dan kasih sayangMu, rintihku di sela-sela ucapan
tasbih.
Tak
kuhiraukan badan yang lemah, dan kaki
yang gemetaran tak kuat menyanggah raga. Pun rasa perih yang hinggap seketika,
karena telapak kaki yang terluka karena karang runcing di sepanjang pergulatan melawan
arus pasang. Cukup kami masih diberi kesempatan hidup, itu melebihi segala rasa
yang telah kami alami.
Sejak
saat itu selama 3 tahun kami tidak pernah mengunjungi pantai. Ada rasa ngeri
membayangkan birunya lautan lepas. Bermacam
kata andai saja yang muncul di kepala, membuat trauma semakin membuncah. Bahkan
beberapa hari setelah kejadian itu si bungsu sering mengigau memanggil-manggil
namaku seolah ada ombak besar yang menghampiri dalam mimpi buruknya.
Dari
kejadian itu, aku ingin menghiasi hidupku dengan rasa syukur. Rasa syukur atas nikmat
hidup kedua yang kuterima. Semoga kami mampu menggunakan kesempatan kedua ini
untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih menundukkan diri pada TitahNya.
Menebarkan manfaat untuk sesama. Satu lagi keridhaan suami atas istri adalah hal
yang utama. Saat suami tak redha atas istri, malaikatpun mengutukinya. Dan tentu
saja keredhaan Allah tak akan membersamai langkahnya. Itu semua menjadi
pelajaran yang berharga. Pelajaran akan nikmatnya hidup, perlunya mawas diri
dan rasa waspada. Tidak terlena akan keadaan yang membuat kita lupa bahwa kita
hanyalah manusia yang lemah.
Semoga kisah ini bisa membawa hikmah pada para pembaca. Setelah kuberanikan diri mengingat kejadian ini dan menggoreskannya dalam jalinan kata, ada rasa lega yang menghangat. Lega karena sedikit demi sedikit aku bisa memaafkan kesalahanku saat itu, dan rasa trauma yang mengkhawatirkan di mimpi-mimpiku. Semoga Allah menjaga kita dari rasa lalai yang akan membutakan mata hati kita. Aamiin.
Kadang pengalaman justru LEBIH BERMAKNA
BalasHapusMbkku tak suruh moco pisan mbok. Biar hilang traumanya...
BalasHapusTrauma yang membekas mebawa kita mawas diri
BalasHapusYuuhuu ceu
HapusYuhuu ceu
HapusSaya seperti merasakan langsung bagaimana pergolakan batin saat berada di tengah air laut itu dan bagaimana leganya bisa selamat..terimakasih kisah inspiratifnya mbak widya
BalasHapusSama sama, senang bisa menginspirasi
Hapus