Minggu, 20 Februari 2022

Hidup Kedua

 

Hidup Kedua

Widya Setianingsih


 

"Kesuksesanmu  diukur dengan kekuatan keinginanmu; ukuran impianmu; dan bagaimana kamu menangani kekecewaan di sepanjang jalan." - Robert Kiyosaki.

Dear diary ku ingin bercerita

Semalam aku bermimpi
Bermimpi bertemu dengannya
Kan ku tulis semua cerita ini
Begitu senangnya hariku
Tenang saat kutatap matanya

Pernahkah kita mengalami fase seperti ini? Fase cinta monyet. Di mana buku diary pink selalu menemani segala aktivitas kita. Buku diary yang menampung segala curhatan. Setiap kejadian selalu kita tulis. Mulai bahagia, sedih, gembira dan bermacam warna perasaan kita senang dalam diary. Sebenarnya tanpa kita sadari saat itu kita sudah melakukan self   healing.  

            Sebenarnya apa itu Self healing? Menurut Kompas.Com Self healing adalah proses pemulihan yang kita lakukan untuk menyembuhkan diri dari luka batin di masa lalu. Luka batin yang dimaksud termasuk gangguan psikologis, trauma, pengalaman buruk atau kejadian lainnya yang memberikan dampak buruk pada kondisi emosional kita.

`           Saat kita menulis diary di setiap kejadian, sebenarnya kita telah belajar mengenali berbagai perasaaan yang telah kita alami. Seusai menuangkan segala perasaan dalam bentuk tulisan, ada rasa lega, nyaman dan kepuasaan batin yang hanya kita yang tahu. Di situlah self healing bekerja menyembuhkan segala perasaan kita yang terluka.

            Manusia dicipta oleh Allah dengan segala kodratnya. Kelebihan dan kekurangan yang ada pada  setiap diri manusia merupakan  rangkaian puzzle yang saling melengkapi satu sama lain. Setiap harmoni kehidupan yang kita lakukan dalam putaran waktu selalu menggoreskan berbagai macam warna. Luka, kecewa, marah, merupakan bumbu penyedap diantara rasa bahagia yang menjadi penyeimbang takaran kehidupan. Itu semua adalah sunnatullah yang tidak dapat kita pungkiri. Bahkan Allah sudah mengingatkan kita dalam surat Al Baqarah ayat 214 yang artinya sebagai berikut :

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana yang dialami orang-orang terdahulu sebelum kamu?...:ingatlah sesumgguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”

            Seperti halnya opera kehidupan yang dialami setiap insan, akupun mengalami juga warna-warni peristiwa  yang membuat hidupku seperti rangkaian roller coaster. Kadang berderai tawa saat berada di puncak piramida, tapi pernah pula jatuh di titik terendah hingga luruh berkalang air mata. Kecewa, ya tentu saja aku pernah patah. Menyalahkan diri sendiri hingga diri seolah terdakwa. Menulisi dinding waktu dengan penyesalan yang kian membunuh kesadaranku, meluluh lantakkan pertahanan diriku. Aku terpuruk merangkak di sela-sela kehancuran yang kutertawai sendiri. Disitulah aku butuh obat untuk menyembuhkan diri.

            Self healing membantu memulihkan luka batinku. Travelling tadabur alam. Menjejaki rimbunnya  jenggala, menghembuskan kesejukan bagi jiwa dan daksa yang lelah. Menatapi lukisan buana dan mencecapi aroma kebebasan peparuku menyaring udara. Sesaat luka yang menganga menemui obatnya. Pelarian semacam itu seringkali kulakukan. Walaupun yang kudapatkan kenyamanan sesaat tapi cukuplah mengobati rasa kecewa dan penat di dada.

Tapi saat ini kala pandemi melanda, segala ruang tersekat, membuat langkah kakiku tak lagi rikat. Aku butuh self healing dalam bentuk lainnya. Qadarulloh aku dipertemukan dengan orang-orang hebat yang melatih jemariku gemulai menari di pusaran aksara. Disitulah aku mulai berkenalan dengan dunia menulis. Kutuangkan segala perih dan luka dalam goresan kata. Di situlah aku menemukan secercah cahaya, yang dapat mengobati segala luka.

Ada satu trauma yang hingga sekarang membayangi hidupku. Hadir dalam mimpi-mimpi burukku hingga ku sering terjaga dengan keringat dingin menderas. Hari ini ingin kutuangkan segala cerita itu. Kubagi segala trauma, semoga dengan mengalirnya berjuta kata, segala resah dan trauma sedikit mereda.

Kuingat sekali hari itu tepatnya tanggal 1 Januari 2018. Awal tahun baru. Kami lima bersaudara perempuan semua. Saat itu kakakku yang nomer 3 baru saja mendapatkan tunjangan inpassing. Dan untuk merayakannya kami sekeluarga di ajak piknik di pantai. Perlu di ketahui pantai di Jawa Timur masuk dalam kawasan pantai Malang Selatan. Di mana terkenal dengan ombaknya yang besar dan arusnya yang deras. Pantai Balai Kambang menjadi destinasinya. Malam hari aku menyampaikan rencana ini, dan suami sepertinya keberatan.

 “Kemarin kan baru pulang dari wisata di Bakti Alam Pasuruan ma, ujar suami menyampaikan keberatannya. Tapi aku terus merayu tanpa lelah. Dan akhirnya suami berkata,

”Ya wes berangkato, tapi aku gak ikut loh yaa, aku capek kemarin kita pulang sudah malam.”kata suami mengiyakan.

Yess ujarku sambil tertawa. Tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya suamiku tak rela melepas kami bertiga rekreasi tanpanya.

Esok harinya sesuai rencana kami berangkat saat Dhuha. Di sepanjang perjalanan canda tawa,  dan cerita mewarnainya. Kakak-kakakku sangat jenaka dan pandai meramu joke-joke kocak yang membuat suasana lebih ceria. Kami 4 bersaudara berangkat dengan keluarga masing-masing dengan mengendarai Hiace. Tak disangka ternyata semua orang memiliki rencana yang sama dengan kami. Sepanjang perjalanan sesak dan macet melanda. Semua ingin ke pantai untuk merayakan datangnya awal tahun baru. Semakin memasuki daerah pedesaan, kendaraan semakin sesak berjubel hingga memenuhi marka. Bahkan kendaraan truk yang harusnya mengangkut barang, sekarang dijejali manusia. Kotak-kotak pengeras suara memutar musik yang membuat pekak telinga. Laju kendaraan tertatih, diiringi musik yang gegap gempita.

Sepanjang kilometer terakhir kemacetan semakin tak terurai. Bau gas karbon monooksida berkawin dengan debu jalanan kian membuat semua pengendara tersiksa. Perjalanan yang biasanya kami tempuh dengan waktu 3 jam, mengular menjadi 9 jam. Alamak lama amat. Ditambah lagi tempat wisata yang kami tuju ditutup, karena sudah terlalu sesak pengunjung didalamnya. Di sepanjang garis pantai Malang Selatan berjejer pantai-pantai yang tak kalah indahnya. Ada pantai Karang Dowo, Ungapan, Teluk Asmara, Bajul Mati, Sendang Biru dan pantai Goa Cina. Akhirnya tujuan kami mengarah pada Pantai Goa Cina.

Waktu menunjukan pukul 17.00 wib. Tak terkira senangnya akhirnya kami mantai juga. Di sinilah awal mulai terjadinya trauma. Trauma yang membuat 3 tahun terakhirku tidak berani mengunjungi pantai. Saat itu laut sedang surut. Menunjukkan segala keindahan flora dan fauna di dalamnya. Lautan biru terbentang bak permadani. Langit dan dan lautan seolah bergandengan tangan dengan erat di batas cakrawala. Semburat warna jingga, sebagai pertanda sesaat lagi senja akan merekah.  Tercium udara pantai segar berbaur asin menambah aroma bahagia.

Sebenarnya kami sadar bahwa ombak di pantai ini cukup besar, tapi karena surut jadi sepertinya tak menjadi masalah jika  kami turun bermain-main air sejenak. Apalagi perjalanan yang cukup lama, seakan tertebus dengan melihat pemandangan indah yang memanjakan mata. Kakak perempuan menunjuk  gumuk pasir (gundukan pasir dengan diameter sekitar 4 meter)  di 3 kilometer garis pantai. Ada beberapa orang yang juga bermain di sana. Baiklah ayo kita ke sana, ucapku. Kami bertujuh segera menuju ke gumuk pasir. Jalan yang kami lalui cukup terjal, berbatu karang runcing dengan kedalaman air se lutut. Saat itu aku dengan dua anak lelakiku, kakak perempuan, suami dan anaknya dan satu keponakan perempuan.  Kami bertujuh mendatangi gumuk pasir itu. Betapa senang kami bermain air dan pasir disana. Gundukan menyerupai bukit kecil itu seakan spot yang tepat untuk menikmati lautan lepas tiada batas. Pasir lembut nan putih, dihempas riak gelombang berbuih menemani kami untuk bermain mencandai alam. Hanya 30 menit kami bermain, setelah itu air laut mulai pasang. Kami bersiap untuk segera menyeberang kembali ke tepi pantai. Hingga kemudian kami keliru mengambil jalan kembali ke tepi pantai. Disitulah awal mula terjadinya tragedi.

Harusnya kami mengambil arah sebelah kanan, tapi kami keliru mengambil arah sebelah kiri. Arah kanan kembali ke pantai sedangkan arah kiri menuju lautan lepas. Awalnya kakak iparku menyusul anak sulungku dan ponakan yang tiba-tiba hampir tenggelam. Air pasang datang begitu cepat. Air yang awalnya sepaha sekarang mencapai leher. Dua anak laki-laki itu melambaikan tangan tanda hampir tenggelam. Kakak ipar segera berenang menggapai anaknya dan sulungku. Kami berempat seakan terpaku, dan ikutan keliru mengambil arah kiri juga. Anak bungsuku saat itu berusia 5 tahun. Kugendong dengan erat di depan. Tak terbayangkan jika tadinya dia kugendong di belakang, entahlah bisa jadi terbawa air pasang duluan.

“Mama..mama.”. kata si bungsu Bisma gelagapan di sela-sela air laut yang masuk ke mulutnya.

Kugendong erat tubuhnya, sambil berkata “Pegang erat mama dek, jangan dilepas”.

Sementara kedua tanganku memegang erat tangan kakak dan keponakan perempuan. Kakak ipar memegang dua anak laki-laki. Laut lepas tepat berada di belakang kami. Sepandai-pandainya atlet perenang, tentu kuwalahan menghadapi derasnya gelombang pasang, Kaki kami sudah gemetaran menahan ganasnya gelora lautan pasang. Kami terdorong ke depan oleh air pasang dari arah belakang, dan mundur kembali disapu hempasan ombak dari arah depan. Kondisi stuck yang membuat kami tidak bisa beranjak dari tempatnya. Pertahanan kami hanya dengan saling bergandengan tangan untuk mempertahankan diri agar tidak terbawa arus pasang ke belakang.

Air laut biru pekat pertanda laut lepas mengarah ke samudra. Sempat ku menoleh ke lautan lepas sambil berujar, “Ya Allah andai ini adalah akhir dari hidupku, aku pasrah,” batinku menciut gemetar. Yang membuatku bertahan terus berjuang menghadapi ombak pasang adalah si bungsu dalam gendongan.  Ia mulai gelagapan karena banyaknya debit air laut yang dia minum. Air laut memang sudah menjalar seleher.  Tak kuhiraukan seberapa air yang sudah kutelan. Aku merapalkan segala doa keselamatan yang terlintas dalam kepala disela kepanikan yang melanda. Allah..Allah..Allah berikan pertolonganMu kepada kami.

Andai di shoot dari atas memakai kamera ground mungkin kami seperti 7 titik hitam di tengah hamparan birunya lautan. Betapa kekuatan manusia hanyalah sebutir pasir di tengah hamparan IradahNya. Lantas jika kekuatan alam saja tidak bisa engkau taklukkan, bagaimana bisa engkau begitu jumawa menghadapi dasyatnya Kuasa Sang Maha Pencipta?

Rupanya Sang Pemberi hidup masih berkehendak lain. Setiap takdir yang telah tertulis di Lauful Mahfudz bersifat pasti. Tidak dapat dimaju atau mundurkan. Semua sudah dipastikan hari, jam, hingga detik terakhirnya. Bahkan dalam Al Quran yang mulia telah ditegaskan.

“Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagaimana ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (Qs Ali Imron 3 : 145).

Allah masih mengizinkan kami menapaki kehidupan. Mungkin masih ada misi yang belum kami selesaikan. Ada salah pada manusia yang belum kami pertanggungjawabkan. Dan ada dosa yang belum kami sucikan dengan taubatan Nashuha. Qadarulloh datanglah seorang penolong yang menyelamatkan hidup kami. Seorang laki-laki berbadan cukup kekar. Awalnya dia hanya  berteriak-teriak memberikan tutorial jalan mana yang harus kami lalui. Mengingat seakan semua tertutup oleh air lautan yang mulai pasang.

“Kekiri…mbak..kiri..terus..terus..!!!” Dia berteriak-teriak sambil tangan kirinya diayun-ayunkan memberi arahan.

“Mas..tolong..tolong…!!!” teriak kakak perempuanku menghiba.

Jika bukan karena Allah yang menggerakkan hati penolong kami, mungkin dia tidak akan mau mempertaruhkan nyawanya menolong 7 orang yang hampir saja tenggelam. Penolong itu segera berenang menghampiri kami, di pegangnya tanganku karena aku yang paling beresiko mengingat sambil menggendong anak. Dia menggiring langkah kaki kami menuju jalan yang benar. Selangkah-demi selangkah kami maju. Saat ombak menghantam dari depan kami bertahan. Saat ombak menghempas maju kami secepatnya melangkah. Perjuangan yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit tapi seolah bermenit-menit. Mengingat nyawa kami menjadi taruhannya. Semakin ke depan air semakin turun ke pinggang. Dan Alhamdulillah akhirnya kami bisa mencapai tepian pantai dengan selamat.

Segera ku condongkan tubuhku untuk sujud syukur. Adzan maghrib menambahkan suasana senja yang syahdu. Dalam linangan air mata aku mengucap rasa terimakasih atas kesempatan hidup kedua yang telah dianugerahkan Allah yang Kuasa.

“Terimakasih ya Allah atas pertolongan dan kasih sayangMu, rintihku di sela-sela ucapan tasbih.

Tak kuhiraukan badan yang lemah,  dan kaki yang gemetaran tak kuat menyanggah raga. Pun rasa perih yang hinggap seketika, karena telapak kaki yang terluka karena karang runcing di sepanjang pergulatan melawan arus pasang. Cukup kami masih diberi kesempatan hidup, itu melebihi segala rasa yang telah kami alami.

Sejak saat itu selama 3 tahun kami tidak pernah mengunjungi pantai. Ada rasa ngeri membayangkan birunya lautan lepas.  Bermacam kata andai saja yang muncul di kepala, membuat trauma semakin membuncah. Bahkan beberapa hari setelah kejadian itu si bungsu sering mengigau memanggil-manggil namaku seolah ada ombak besar yang menghampiri dalam mimpi buruknya.

Dari kejadian itu, aku ingin menghiasi hidupku dengan rasa syukur. Rasa syukur atas nikmat hidup kedua yang kuterima. Semoga kami mampu menggunakan kesempatan kedua ini untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih menundukkan diri pada TitahNya. Menebarkan manfaat untuk sesama. Satu  lagi keridhaan suami atas istri adalah hal yang utama. Saat suami tak redha atas istri, malaikatpun mengutukinya. Dan tentu saja keredhaan Allah tak akan membersamai langkahnya. Itu semua menjadi pelajaran yang berharga. Pelajaran akan nikmatnya hidup, perlunya mawas diri dan rasa waspada. Tidak terlena akan keadaan yang membuat kita lupa bahwa kita hanyalah manusia yang lemah.

Semoga kisah ini bisa membawa hikmah pada para pembaca. Setelah kuberanikan diri mengingat kejadian ini dan menggoreskannya dalam jalinan kata, ada rasa lega yang menghangat. Lega karena sedikit demi sedikit aku bisa memaafkan kesalahanku saat itu, dan rasa trauma yang mengkhawatirkan di mimpi-mimpiku. Semoga Allah menjaga kita dari rasa lalai yang akan membutakan mata hati kita. Aamiin.

 

 

 

           

 

7 komentar:

  1. Kadang pengalaman justru LEBIH BERMAKNA

    BalasHapus
  2. Mbkku tak suruh moco pisan mbok. Biar hilang traumanya...

    BalasHapus
  3. Trauma yang membekas mebawa kita mawas diri

    BalasHapus
  4. Saya seperti merasakan langsung bagaimana pergolakan batin saat berada di tengah air laut itu dan bagaimana leganya bisa selamat..terimakasih kisah inspiratifnya mbak widya

    BalasHapus

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...