"Selemah-lemah manusia ialah orang yang tak mau mencari
sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yang menyia-nyiakan
sahabat yang telah dicari." Ali Bin Abi Thalib
Tentang September 2021, kuasku terjebak
dalam cerita penuh makna. Ruang maya mempertemukan kita dalam sebuah
rajutan aksara. Sebuah pesan masuk tanpa basa-basi menggiring perhatianku pada
layar untuk terus berguman dan berbalas pesan.
"Assalamualaikum Bunda, Perkenalkan Ini Widya, saya mau
ikut Antologi cerita Faksi. Boleh gak tentang mengajar di Sekolah?" Tanya
Buk Wid penuh harap.
"Boleh, Bunda!" Jawabku dengan emot senyum.
"Baiklah Bunda, akan saya kirim lewat email ya,
sampun" balas nya dengan ramah.
"Siap Bunda!" Jawabku dengan emot penuh cinta.
Hari berjalan menjadi berminggu, minggu berlari menuju
berbulan, sebuah waktu terus berotasi dalam ruang virtual. Entah, sinyal apa
yang membawa ia kepadaku. Bahkan ketika udara bertiup bak jelmaan pesan dari
Buk Wied.
Dari balik dinding hatiku yang dingin, aku tetap menasbihkan
egoku untuk bersikap biasa saja, aku tak peduli tentang dini hari yang
menegggelamkan pijar bintang sang malam. Bagiku, semua normal saja.
Acap kali ia mendekati, acap kali aku mengabaikan. Padahal
mimpinya hanya sederhana, cukup dengan menjadi sahabat atas setiap momen di
linimasanya. Namun, hatiku tetap angkuh memamerkan penolakan bak senja menolak
malam dalam derai hujan penuh nestapa.
Aku masih ingat ribuan alasan yang ku lontarkan begitu
lantang. Berkelit atas padatnya sebuah kesibukan. Eloknya, jiwanya tak pernah
gentar meski perasaannya tercincang tapi laku nya begitu anggun dalam balutan
kesabaran.
Sang waktu semakin bersaksi ada beberapa
kecewa yang ia sandingkan dalam nanar. Lantas ia pun eja dalam bait
panjang pesan maya. Hari itu aku meminta maaf, bahwa melupakannya aku belum
bisa, dan hatiku masih saja mengeja namanya sebagai rasa hilafku.
Semangkuk harapan kemudian aku tawarkan sebagai sebuah
pembelaan atas egoku yang rindang. Berusaha dengan keras memperbaiki laku nan
arogan. Hingga akhirnya aku ingin berdamai dengan keadaan. Entahlah, untuk apa
aku hindari toh bersahabat maya juga disertakan sebuah rasa asam
manis rujak bumbu, kopi hitam kupu-kupu. Marah dalam diam sesal
penuh rindu. Jelas yang kujadikan sahabat adalah manusia bukan sebuah Hp yang
tersenyum dalam emoji.
Aku melamun dalam temaram, sedemikian aku mengabaikannya
sekuat ia mengejarku bak mengejar mentari yang selalu senyum dalam pagi.
Akhirnya, aku siapkan lencana hati untuk ku jadikan sebuah rumah tempat sahabat
online ku berkeluh kesah. Agar ia bisa bernafas dal pori-pori kedamaian. Dengan
keras kujadikan jiwa ini sebagai tempat berlari dari letihnya senja saat
berpulang.
Semakin lekat kita bersua dalam maya, harusnya semakin dekat
kita menyusun singgasana yang utuh. Namun gemuruh sesekali berteriak di atas
kenyataan bahwa kita terkadang saling ego. Bertengkar atas pesan yang terlampau
diratapi, menumbuk beriringan dengan letupan emosi. Memenggal jarak bak bumi
dan angkasa, padahal jarak kita hanya terhitung jari, semudah klik dan emoji.
Kenapa kerap kali kita perbincangkan sebagai alasan atas
pertikaian yang tak sefaham. Keadaan kita memang sehat, tapi terkadang jiwa
kita dibuat sekarat. Pada akhirnya kita saling mematahkan, hingga debar yang
dirasa mengganggu tidurku. Sampai hatiku bergumam, 'aku tak suka pertengkatan
ini'.
Hingga ahkirnya aku tersadar bahwa daun-daun yang jatuh di
atap rumah pun adalah ia yang berkorban demi jiwa yang lain. Tentangmu bagaikan
obat Paracetamol, pahit namun mampu menjadi analgetik. Hadirmu mendewasakan, menggiring
lara agar tetap tegar melangkah yang akhirnya menjelma menjadi sebuah kekuatan
dalam nurani. Nampak keindahan yang kemilau melebihi kemilau bintang di
angkasa. Keiklasanmu menyanyangiku membawa teduh yang berpendar menaungi
deretan jiwaku yang gersang.
Setiap bait percakapan yang kita bincangkan, akan menguat
dalam labirin ingatan, menjadi elok dan utuh bernaung dalam
tema persahabatan. Selamanya aku akan mengenangmu sebagai bunyi
keindahan. Kan ku katakan pada udara agar bterbentuk pusaran abadi di rotasi
bumi, membawa pusara rindu yang terus kita syukuri. Aku menyerumu dalam maya,
merupa wajah dalam doa dan bismillah. Dengan cinta engkau mengubahku. Karena
cinta selalu bisa mengubah apa yang selama ini sulit dirubah.
Sementara cinta dan angkuh pernah berpesta pora, akhirnya
aku tenggelam dalam dekapan hangat persahabatan. Terimakasih selalu menjagaku
dalam doa, dibandingkan dengan cintamu bahkan semesta pun nampak kerdil di
pelupuku. Tak ada yang bisa kupersembahkan di hari jadimu selain doa dan cinta
yang tulus dari nadiku.
I Love You to the Moon and Back
Maydearly