My First Love
Widya Setianingsih
Seorang
ayah adalah pahlawan yang sangat berjasa dalam keluarga. Seorang pejuang
tangguh yang merelakan seluruh hidupnya mengabdi demi keluarga. Bagi lima anak perempuan
seperti kami, sosok ayah bagai super hero. Super hero yang selalu ada disaat
anaknya menangis sedih, atau sekedar memeluk bahunya untuk berbagi kebahagiaan
saat mendapat nilai seratus dari guru. Itulah sosok ayah. Begitupun dengan
ayahku, rela berpeluh demi membahagiakan kelima putri dan istrinya tercinta.
Bagiku seorang lelaki yang hebat dalam hidup ku adalah ayah. Dan ayah yang
hebat adalah ayah yang mencintai istri dan anak-anaknya.
Masih terkenang
hingga saat ini, setiap hari Minggu ayah selalu mengajak kami mengunjungi
tempat-tempat rekreasi. Kehidupan kami saat kecil cukup berada. Ayah bekerja
sebagai pemborong bangunan. Istilah saat ini tepatnya kontraktor. Ayah
bekerjasama dengan berbagai pihak untuk membangun tempat-tempat umum. Misalnya
membangun bendungan (dulu Bendungan Ir Sutami), rumah sakit, sekolah. Disamping
itu juga memasok bahan-bahan bangunan seperti pasir, gamping (kapur), kayu,
semen dan sebagainya. Belum lagi toko bangunan ayah ada di beberapa tempat. Masih tergambar di
ingatan masa kecilku. Hampir setiap Minggu kami pergi ke tempat-tempat
rekreasi. Di album foto lama kutemukan gambar saat kami pergi ke taman rekreasi
Sengkaling, Selekta dan Songgoriti. Tak bisa dihitung bilangan tangan kami
makan di restoran. Apalagi hobi ayah adalah makan enak.
Kehidupan
yang berkecukupan membuat ayah kurang dekat dengan agama. Ayah hampir tidak
pernah sholat dan puasa. Akan tetapi ayah mewajibkan anak-anaknya untuk sholat
5 waktu dan wajib mengaji. Tak segan-segan ayah memanggilkan guru mengaji
privat untuk kami. Kegiatan agamis yang anak-anaknya lakukan selalu didukung sepenuhnya
oleh ayah. Akan tetapi rupanya hidayah belum mampir pada hidup ayah. Untuk
urusan amal, zakat dan sedekah ayah tidak pernah pelit. Ayah terkenal seorang yang dermawan. Banyak
saudara-saudara di desa yang terbantu dengan ayah. Misalnya dengan mengirim
sembako, pakaian setiap bulan kepada saudara-saudara di desa yang notabene
kondisi ekonominya minus.
Ayahku adalah simbol kebanggaan keluarga. Satu-satunya
lelaki dalam keluarga kami. Ayah juga
cinta pertama bagi seorang anak perempuannya. Ayah tidak pernah bersikap kasar
kepada kami. Jika kami memiliki kesalahan maka hanya dengan memandang wajah
ayah, hati bergetar penuh rasa
ketakutan. Ayah selalu memastikan anak-anaknya tercukupi gizi dan
kebutuhan hidupnya. Selalu penuh perhatian dan rasa cinta. Tak heran kami anak-anak
perempuannya dekat sekali dengan beliau. Ayahku terkadang suka usil menggoda
anak-anak perempuannya. Girang banget hati ayah saat melihat anak-anaknya
tertawa, berteriak-teriak atau kadang cemberut saat digoda. Aaah indahnya
mengenang masa-masa itu.
Hingga pada suatu saat sentilan dari Allah merubah hidup kami. Saat Allah
menginginkan hambaNya untuk bertobat, terkadang Allah mengujinya dengan cobaan.
Ibaratnya dibangunkan dari lelapnya tidur agar segera terjaga. Berangsur tapi
pasti harta kekayaan ayah diambil kembali oleh Allah. Berkali-kali ayah tertipu
dalam bisnisnya. Hutang yang bertumpuk, memaksa ayah untuk menjual asetnya satu
persatu. Truk yang berjumlah tiga buah, tinggal satu saja untuk operasional toko.
Kendaraan pribadi juga ditukar dengan kendaraan yang lebih sederhana. Toko
bangunan juga terjual, hingga tersisa satu saja. Kun fayakun,
saat Allah berkata terjadi maka terjadilah. Kehidupan kami diputar 180 derajat.
Semua pembantu dengan terpaksa diberhentikan semua, karena tidak ada lagi
sumber keuangan yang mencukupi untuk membiayainya.
Hikmah dari setiap kejadian selalu ada. Siapa sangka dibalik merosotnya
kondisi keuangan keluarga kami, perlahan-lahan ayah mulai mendekat pada agama.
Doa dari ibu yang selalu dilangitkan seusai sholat dijawab oleh Allah. Ayah
mulai mengaji, mendengarkan kajian-kajian agama, dan rutin melaksanakan sholat 5
waktu di masjid. Sholat sunnah pun selalu terjaga. Walaupun hanya berbekal hafalan
surat Al Fateehah dan surat An Nas saat sholat, ayah nyaris tak pernah
meninggalkan waktu menghadap Rabbnya. Hingga akhirnya tahun 1995 ayah dipanggil
untuk pulang.
Minggu kelabu, kami mengenangnya seperti itu. Setiap hari Minggu, biasanya
ayah libur. Menggunakan waktu libur untuk bercanda dan bercerita dengan anak
istri. Tapi entah kenapa hari itu ayah bersikeras untuk berangkat juga. Menjaga
toko bangunan yang tinggal satu-satunya untuk menakar rezeki. Ayah menggunakan
kesempatan berangkat kerja untuk berolahraga. Berjalan kaki, jika lelah mendera
segera naik angkutan umum. Saat di tengah perjalanan ayah terjatuh. Rupanya
sakit darah tinggi yang dialami ayah membuatnya struk dan pecahnya pembuluh
darah di otak. Qadarulloh tetangga melihat kerumunan ditengah jalan tersebut.
Segera dihampirinya dan ternyata itu adalah ayah. Segeralah ayah dilarikan ke
UGD rumah sakit umum. Akan tetapi rupanya Allah lebih sayang pada ayah.
Ditengah perjalanan ke RSU ayah berpulang pada Sang Pemilik Kehidupan.
Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu. Mendung hitam seolah
menggelayut diam dan tak mau beranjak dari tempatnya. Gambaran seorang ayah
yang penyabar, dan mencintai anak-anaknya membuat hari-hariku seakan kelu
menahan tepias jutaan rasa rindu. Satu hal yang kusesali hingga saat ini, kami
belum bisa membalas segala kebaikan yang telah ayah tabur. Ayah ingin sekali ke
tanah suci. Tapi kondisi kami saat itu masih pelajar dan mahasiswa jadi tentu
tak bisa mewujudkan impian terbesar ayahanda. Aah ayah andai saat ini engkau
masih ada, kini anak-anakmu telah menuai semua kerja keras ayah selama ini.
Sejak saat itu, tekadku bulat untuk mewujudkan mimpi sang
ayah yang menginginkan aku untuk menjadi
seorang guru. Kala ayah berpulang aku masih duduk di semester 5 STAIN Malang.
Menjadi seorang guru sejatinya bukan keinginanku. Tetapi demi menuruti harapan ayah
aku masuk di jurusan keguruan. Karena kuliah tidak sesuai dengan minatku,
akhirnya akupun kuliah hanya dengan setengah hati. Tapi semenjak kepergian
ayahanda tercinta kubulatkan tekadku untuk menjadi guru yang benar-benar guru.
Bukan hanya menjadi guru karena sekedar menunaikan harapan ayah. Kini aku telah
21 tahun mengabdi menjadi guru. Aku mencintai profesiku. Kusadari itu semua
berkat ayahku. Di setiap sujud kusampaikan doa dan rasa terimakasihku pada ayah. “Ayah,
terimakasih atas tuntunanmu, sekarang anakmu telah menjadi guru seperti harapan
ayah. “
Itulah ayahku, my first love cinta pertamaku. Bagi kalian
yang masih didampingi oleh kedua malaikat kalian yakni ayah dan ibu,
beruntunglah kalian. Jagalah surga kalian. Jangan sampai tersia-sia. Karena
saat putaran waktu merebutnya kembali, tak akan ada lagi pusaran doa mereka
dihidupmu.
Titip
Rindu Buat Ayah
Ayah,
Apa kabarmu hari ini?
Hujan semakin deras di sini
Anakmu menggigil dalam sepi.
Menahan tepis air mata
Mencoba mengingat rasa
Rangkulan hangat pelukmu
Serta kokohnya semangatmu.
Biarlah anganku memeluk tentangmu
Kidung berurai mantra membiusku
Nyanyian malam redakan resahku
Untaian doa penawar dahaga rindu.
Ayah,
Aku memeluk dingin tanpamu
Suaraku tercekat terbungkam sendu.
Tanpa perisaimu
Aku jatuh, terpuruk dan kuyup
Bahkan bintangpun enggan menemaniku.
Kutahu kau tlah titipkan restumu
Pada senja yang memudar
Pada malam yang nanar
Dan pagi yang berlagu.
Hanya doa pengantar rindu
Mewarnai tanah gundukan itu
Menembus tirai waktu
Mengaitkan aku padamu.
Ayah,
aku rindu.
BIONARASI
Penulis
bernama Widya Setianingsih, S.Ag,
lahir di kota Malang 29 September 1975. Putri dari Bapak Syarif (alm) dan Ibu Martini (alm).
Menjadi guru MI sejak
tahun 2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Sejak 10 tahun yang lalu menjabat sebagai
Pimred majalah sekolah bertajuk
Kharisma,
aktif di organisasi Komisi Pendidikan Nasional, dan
menjadi ketua penggiat literasi madrasah.
Penulis sangat menyukai dunia menulis dan dunia mendongeng.
Memiliki buku solo, kumpulan puisi cinta yang berjudul Laras-Laras Makna
dalam Puisi.
Buku antologi yang sudah
diterbitkan adalah Buku Ajar Juara
UAMBN, Bukan
Guru Biasa, Bahagianya menjadi Guru, Berjuta
Cinta dengan Cerita, Sekuntum
Puisi, Bumi 14 hari, Kumandang Kisah remaja, Kado untuk ibu, Jejak Pena
Pengembara Aksara, Kisah Laskar Ilmu di Masa Pandemi, Suara dalam Kata,
Sekuntum Puisi, Sinergi Guru dan Siswa Melejitkan Prestasi, Merindukan
Baitulloh, Kidung Cinta Sahabat dan Kisah Para Pendaki Mimpi.
Penulis dapat dihubungi melalui wa
(085954558358), Ig. Widyabisma,
facebook Widya Althafian atau email widyabisma9@gmail.com. Dan alamat blog
https://widyabisma.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar