Minggu, 20 Februari 2022

My First Love

 

My First Love

Widya Setianingsih

            Seorang ayah adalah pahlawan yang sangat berjasa dalam keluarga. Seorang pejuang tangguh yang merelakan seluruh hidupnya mengabdi demi keluarga. Bagi lima anak perempuan seperti kami, sosok ayah bagai super hero. Super hero yang selalu ada disaat anaknya menangis sedih, atau sekedar memeluk bahunya untuk berbagi kebahagiaan saat mendapat nilai seratus dari guru. Itulah sosok ayah. Begitupun dengan ayahku, rela berpeluh demi membahagiakan kelima putri dan istrinya tercinta. Bagiku seorang lelaki yang hebat dalam hidup ku adalah ayah. Dan ayah yang hebat adalah ayah yang mencintai istri dan anak-anaknya.

 Masih terkenang hingga saat ini, setiap hari Minggu ayah selalu mengajak kami mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Kehidupan kami saat kecil cukup berada. Ayah bekerja sebagai pemborong bangunan. Istilah saat ini tepatnya kontraktor. Ayah bekerjasama dengan berbagai pihak untuk membangun tempat-tempat umum. Misalnya membangun bendungan (dulu Bendungan Ir Sutami), rumah sakit, sekolah. Disamping itu juga memasok bahan-bahan bangunan seperti pasir, gamping (kapur), kayu, semen dan sebagainya. Belum lagi toko bangunan ayah  ada di beberapa tempat. Masih tergambar di ingatan masa kecilku. Hampir setiap Minggu kami pergi ke tempat-tempat rekreasi. Di album foto lama kutemukan gambar saat kami pergi ke taman rekreasi Sengkaling, Selekta dan Songgoriti. Tak bisa dihitung bilangan tangan kami makan di restoran. Apalagi hobi ayah adalah makan enak.

            Kehidupan yang berkecukupan membuat ayah kurang dekat dengan agama. Ayah hampir tidak pernah sholat dan puasa. Akan tetapi ayah mewajibkan anak-anaknya untuk sholat 5 waktu dan wajib mengaji. Tak segan-segan ayah memanggilkan guru mengaji privat untuk kami. Kegiatan agamis yang anak-anaknya lakukan selalu didukung sepenuhnya oleh ayah. Akan tetapi rupanya hidayah belum mampir pada hidup ayah. Untuk urusan amal, zakat dan sedekah ayah tidak pernah pelit.  Ayah terkenal seorang yang dermawan. Banyak saudara-saudara di desa yang terbantu dengan ayah. Misalnya dengan mengirim sembako, pakaian setiap bulan kepada saudara-saudara di desa yang notabene kondisi ekonominya minus.

Ayahku adalah simbol kebanggaan keluarga. Satu-satunya lelaki dalam keluarga kami.  Ayah juga cinta pertama bagi seorang anak perempuannya. Ayah tidak pernah bersikap kasar kepada kami. Jika kami memiliki kesalahan maka hanya dengan memandang wajah ayah, hati bergetar penuh rasa  ketakutan. Ayah selalu memastikan anak-anaknya tercukupi gizi dan kebutuhan hidupnya. Selalu penuh perhatian dan rasa cinta. Tak heran kami anak-anak perempuannya dekat sekali dengan beliau. Ayahku terkadang suka usil menggoda anak-anak perempuannya. Girang banget hati ayah saat melihat anak-anaknya tertawa, berteriak-teriak atau kadang cemberut saat digoda. Aaah indahnya mengenang masa-masa itu.

Hingga pada suatu saat sentilan dari Allah merubah hidup kami. Saat Allah menginginkan hambaNya untuk bertobat, terkadang Allah mengujinya dengan cobaan. Ibaratnya dibangunkan dari lelapnya tidur agar segera terjaga. Berangsur tapi pasti harta kekayaan ayah diambil kembali oleh Allah. Berkali-kali ayah tertipu dalam bisnisnya. Hutang yang bertumpuk, memaksa ayah untuk menjual asetnya satu persatu. Truk yang berjumlah tiga buah, tinggal satu saja untuk operasional toko. Kendaraan pribadi juga ditukar dengan kendaraan yang lebih sederhana. Toko bangunan juga terjual, hingga tersisa satu saja. Kun fayakun, saat Allah berkata terjadi maka terjadilah. Kehidupan kami diputar 180 derajat. Semua pembantu dengan terpaksa diberhentikan semua, karena tidak ada lagi sumber keuangan yang mencukupi untuk membiayainya.

Hikmah dari setiap kejadian selalu ada. Siapa sangka dibalik merosotnya kondisi keuangan keluarga kami, perlahan-lahan ayah mulai mendekat pada agama. Doa dari ibu yang selalu dilangitkan seusai sholat dijawab oleh Allah. Ayah mulai mengaji, mendengarkan kajian-kajian agama, dan rutin melaksanakan sholat 5 waktu di masjid. Sholat sunnah pun selalu terjaga. Walaupun hanya berbekal hafalan surat Al Fateehah dan surat An Nas saat sholat, ayah nyaris tak pernah meninggalkan waktu menghadap Rabbnya. Hingga akhirnya tahun 1995 ayah dipanggil untuk pulang.

Minggu kelabu, kami mengenangnya seperti itu. Setiap hari Minggu, biasanya ayah libur. Menggunakan waktu libur untuk bercanda dan bercerita dengan anak istri. Tapi entah kenapa hari itu ayah bersikeras untuk berangkat juga. Menjaga toko bangunan yang tinggal satu-satunya untuk menakar rezeki. Ayah menggunakan kesempatan berangkat kerja untuk berolahraga. Berjalan kaki, jika lelah mendera segera naik angkutan umum. Saat di tengah perjalanan ayah terjatuh. Rupanya sakit darah tinggi yang dialami ayah membuatnya struk dan pecahnya pembuluh darah di otak. Qadarulloh tetangga melihat kerumunan ditengah jalan tersebut. Segera dihampirinya dan ternyata itu adalah ayah. Segeralah ayah dilarikan ke UGD rumah sakit umum. Akan tetapi rupanya Allah lebih sayang pada ayah. Ditengah perjalanan ke RSU ayah berpulang pada Sang Pemilik Kehidupan.

Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat itu. Mendung hitam seolah menggelayut diam dan tak mau beranjak dari tempatnya. Gambaran seorang ayah yang penyabar, dan mencintai anak-anaknya membuat hari-hariku seakan kelu menahan tepias jutaan rasa rindu. Satu hal yang kusesali hingga saat ini, kami belum bisa membalas segala kebaikan yang telah ayah tabur. Ayah ingin sekali ke tanah suci. Tapi kondisi kami saat itu masih pelajar dan mahasiswa jadi tentu tak bisa mewujudkan impian terbesar ayahanda. Aah ayah andai saat ini engkau masih ada, kini anak-anakmu telah menuai semua kerja keras ayah selama ini.

Sejak saat itu, tekadku bulat untuk mewujudkan mimpi sang ayah yang menginginkan aku  untuk menjadi seorang guru. Kala ayah berpulang aku masih duduk di semester 5 STAIN Malang. Menjadi seorang guru sejatinya bukan keinginanku. Tetapi demi menuruti harapan ayah aku masuk di jurusan keguruan. Karena kuliah tidak sesuai dengan minatku, akhirnya akupun kuliah hanya dengan setengah hati. Tapi semenjak kepergian ayahanda tercinta kubulatkan tekadku untuk menjadi guru yang benar-benar guru. Bukan hanya menjadi guru karena sekedar menunaikan harapan ayah. Kini aku telah 21 tahun mengabdi menjadi guru. Aku mencintai profesiku. Kusadari itu semua berkat ayahku. Di setiap sujud kusampaikan doa dan  rasa terimakasihku pada ayah. “Ayah, terimakasih atas tuntunanmu, sekarang anakmu telah menjadi guru seperti harapan ayah. “

Itulah ayahku, my first love cinta pertamaku. Bagi kalian yang masih didampingi oleh kedua malaikat kalian yakni ayah dan ibu, beruntunglah kalian. Jagalah surga kalian. Jangan sampai tersia-sia. Karena saat putaran waktu merebutnya kembali, tak akan ada lagi pusaran doa mereka dihidupmu.

Titip Rindu Buat Ayah

 

Ayah,

Apa kabarmu hari ini?

Hujan semakin deras di sini

Anakmu menggigil dalam sepi.

 

Menahan tepis air mata

Mencoba mengingat rasa

Rangkulan hangat pelukmu

Serta kokohnya semangatmu.

 

Biarlah anganku memeluk tentangmu

Kidung berurai mantra membiusku

Nyanyian malam redakan resahku

Untaian doa penawar dahaga rindu.

 

Ayah,

Aku  memeluk dingin tanpamu

Suaraku tercekat terbungkam sendu.

Tanpa perisaimu

Aku jatuh, terpuruk dan kuyup

Bahkan bintangpun enggan menemaniku.

 

Kutahu kau tlah titipkan restumu

Pada senja yang memudar

Pada malam yang nanar

Dan pagi yang berlagu.

 

Hanya doa pengantar rindu

Mewarnai tanah gundukan itu

Menembus tirai waktu

Mengaitkan aku padamu.

 

Ayah,

aku rindu.

 

BIONARASI

 

 

 

 

 

 

 


Penulis bernama Widya Setianingsih, S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975. Putri dari Bapak Syarif (alm) dan Ibu Martini (alm).

Menjadi guru MI sejak tahun 2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Sejak 10 tahun yang lalu menjabat sebagai Pimred majalah sekolah bertajuk Kharisma, aktif di organisasi Komisi Pendidikan Nasional, dan menjadi ketua penggiat literasi madrasah. Penulis sangat menyukai dunia menulis dan dunia mendongeng.

Memiliki buku solo, kumpulan puisi cinta yang berjudul Laras-Laras Makna dalam Puisi.

Buku antologi yang sudah diterbitkan adalah Buku Ajar Juara UAMBN, Bukan Guru Biasa, Bahagianya menjadi Guru, Berjuta Cinta dengan Cerita, Sekuntum Puisi, Bumi 14 hari, Kumandang Kisah remaja, Kado untuk ibu, Jejak Pena Pengembara Aksara, Kisah Laskar Ilmu di Masa Pandemi, Suara dalam Kata, Sekuntum Puisi, Sinergi Guru dan Siswa Melejitkan Prestasi, Merindukan Baitulloh, Kidung Cinta Sahabat dan Kisah Para Pendaki Mimpi.

 Penulis dapat dihubungi melalui wa (085954558358), Ig. Widyabisma, facebook Widya Althafian atau email widyabisma9@gmail.com. Dan alamat blog https://widyabisma.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...