Minggu, 20 Februari 2022

Hatiku Terpaut di Madrasah


 

Hatiku Terpaut di Madrasah

Oleh Widya Setianingsih,S.Ag

 

            Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayahku sering bertanya, “nduk suk yen wes gede kepingin dadi opo?” (kalau kamu sudah besar kamu ingin menjadi apa). Lantas akupun menjawab dengan mantap. “Aku ingin menjadi dokter Yah”, ucapku mantap. Ayahku bertanya lagiOpo kowe ra kepingin dadi guru nak,” {Apakah kamu tidak ingin menjadi guru). “Aku pun menjawab, menjadi guru apa kerennya yah”.

            Sejalan dengan waktu akupun lulus sekolah tingkat atas. Ayahku tetap bersikeras aku harus menjadi seorang guru. Demi menuruti keinginan ayah, akupun melanjutkan belajar di UIN Maliki Malang mengambil jurusan keguruan. Aku sadar jurusan ini sama sekali tidak aku minati.

Akupun menyelesaikan kuliah hanya untuk menjalankan baktiku sebagai seorang anak. Yah aku terpaksa mengambil jurusan ilmu keguruan hanya untuk menyenangkan hati orangtuaku. Dan mulailah perjalananku dalam proses menjadi seorang guru. Kuliah hanya sekedarnya, berburu nilai dan mencari teman baru. Benar benar tidak ada ruhnya sebagai calon seorang guru.

            Lulus tepat waktu 4 tahun. Aku masih tetap kekeuh dengan prinsipku, tidak mau menjadi guru. Akhirnya aku bergabung dengan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang bergerak di bidang bantuan masyarakat kurang mampu. Setengah tahun aku berkecimpung di dunia LSM. Pada akhir bulan kubuka amplop gaji pertamaku.   Aku  tercengang karena gaji yang diberikan saat itu lumayan besar. 

Bulan demi bulan aku jalani profesiku sebagai karyawati LSM. Akan tetapi seperti ada ganjalan di dalam hatiku. Mengapa hatiku tidak tenang yaa? Aku selalu berpikir, kok kerjanya ringan tapi semudah ini bisa mengumpulkan banyak uang. Demi memenangkan hatiku, akhirnya akupun memilih keluar dari LSM tersebut. Ayahku kembali menawarkan sebuah lowongan untuk menjadi guru, tetapi aku tetap bertahan dengan prinsipku. Aku akan menjadi guru, saat aku sudah tidak mendapatkan pekerjaan lainnya.

            Aku pun mencoba peruntunganku dengan melamar di instansi dan perusahaan swasta. Akhirnya diterima di sebuah perusahaan alat listrik ternama. Disitulah aku merasakan susahnya mencari penghidupan. Karena perusahaan itu bertempat di Surabaya, aku pun harus siap menjadi anak kost. Bekerja dengan 3 shift, wow luar biasa. Pagi sampai siang, shift sore hingga malam bahkan shift malam hingga pagi menjelang. Aku dilanda kebosanan dengan pola yang itu-itu saja. Hidup laksana robot, dengan rutinitas yang sama setiap harinya. Capek fisik, fikiran dan juga kangen dengan suasana rumah. Saat itu kemudian orangtuaku  memintaku pulang, karena merasa tidak tega dengan kondisiku di sana. Akhirnya setelah 3 bulan aku mengadu nasib di ibukota Jawa Timur akupun pulang ke rumah meninggalkan pekerjaanku.

            Lama menganggur membuatku berpikir untuk mencoba-coba menjadi guru. Aku menerima tawaran dari sebuah madrasah kecil di dekat kampungku. Muridnya tak seberapa banyak, satu sekolah hanya berkisar puluhan saja. Saat pertama kali aku masuk, aku mengajar kelas 3 dan jumlah siswanya hanya 7 anak. Disinilah babak kehidupanku menjadi seorang guru dimulai. Awal mula mengajar aku agak kebingungan karena tidak terbiasa menjadi guru. Bagaimana cara menyampaikan materi, mengkondisikan kelas dan menghadapi mereka di depan kelas, sungguh aku minim ketrampilan itu .

Karena mengajar dengan setengah hati, akupun sering uring uringan dengan ulah murid muridku yang aku nilai bandel. Akhir bulan aku menerima gaji pertama. Gaji yang kuterima saat itu hanya Rp. 50.000 perbulannya (tahun 2000). Wow perbandingan yang luar biasa. Betapa dulu di LSM gajiku 30 kali lipatnya dibanding itu. Kata guru senior di madrasah tersebut, “maaf kami hanya bisa memberi ini, hanya cukup untuk membeli sabun mandi saja. Anak anak di sini  banyak yang dibebaskan untuk tidak membayar spp, karena rata-rata mereka dari keluarga kurang mampu.”

            Sampai kemudian di suatu titik aku merasa jatuh hati dengan profesi ini, profesi guru. Aku sering merasakan kesungguhan murid muridku. Setiap kali belajar aku melihat ketulusan yang terpancar di binar mata mereka. Wajah-wajah yang menampakkan rasa bahagia, antusias dan semangat. Luluh hati ini melihat kesungguhan mereka. Mereka bukan dari kalangan masyarakat menengah ke atas, bukan anak anak yang dibesarkan dengan kemewahan. Orangtua mereka kebanyakan pedagang sayur, ikan, buah, dan juga buruh. Alat tulis yang dipunya hanya satu dua pensil, yang diraut atas bawah. Terkadang menghapus pun dengan menggunakan karet gelang yang digulung di pensilnya. Seragam yang sudah kusam jauh dari warna putih, karena terkadang seragam turunan dari kakak mereka. Sepatu.. Ooh jangan ditanya lagi. Kebesaran itu sudah bagus daripada bolong di sana sini. Tetapi semangat mereka, masyaallah luar biasa. Hatiku yang menolak menjadi pendidik, seketika leleh. Kesombonganku luluh lantak. Betapa berdosanya jika aku tidak mengimbangi kesungguhan mereka dengan menjadi guru yang sesungguhnya.

            Demi menyambut semangat mereka, akupun bangkit. Aku harus bisa menjadi guru kebanggaan mereka. Prinsip hidupku adalah kerjakan segala sesuatu dengan totalitas. Jika memutuskan menjadi guru maka akupun harus totalitas, menjadi guru yang profesional. Akhirnya aku mengikuti berbagai pelatihan guru, kelompok kerja guru, menimba ilmu  sana sini dari guru guru yang lebih senior. Mulai banyak membaca buku tentang trik untuk menjadi guru yang profesional. Aku ajari anak anak didikku dengan berbagai metode baru yang jarang mereka dapatkan. Aku ajak mereka belajar sambil bermain, simulasi, dan berbagai metode menyenangkan lainnya. Aku mengajari mereka dengan hati. Aku cintai mereka dengan sepenuhnya.

            5 tahun aku mengajar di madrasah tersebut, hingga suatu hari ada salah satu teman di KKG menawarkan untuk menjadi guru di madrasah yang lebih besar. Madrasah Ibtidaiyah Khadijah. Salah satu motivasiku untuk melamar di sana adalah aku ingin lebih mengembangkan potensi diriku. Karena merasa kurang berkembang sebab minimnya sarana dari madrasah yang lama. Saat test penerimaan guru baru aku merasakan atmosfer persaingan yang ketat, batinku dalam hati. ini benar benar sekolah yang bagus. Menilik banyaknya calon guru yang mendaftar. Bayangkan puluhan pendaftar yang diterima hanya 2 orang.  Berbagai tes aku jalani. Pada saat itu aku merasa kurang percaya diri dengan kemampuanku. Apalagi saat menjalani test IT, aku benar benar gaptek. Dan benarlah saat pengumuman, aku tidak lolos untuk menjadi guru di sana.

            Harus bersabar menunggu selama satu tahun kemudian, aku baru dipanggil untuk mengajar di MI Khadijah. Rasa gembira menyelimuti diriku. Aku bertekad untuk mengejar segala ketertinggalanku. Mempelajari banyak hal untuk memantaskan diriku sendiri agar menjadi guru yang profesional. Di sinilah aku seakan menemukan oase ilmu di tengah padang pasir bagi diriku yang haus untuk belajar. Dukungan dari kepala madrasah dan teman teman sejawat yang tidak pelit untuk membagi ilmunya semakin melengkapi percepatan ilmu ini.

            Aku semakin jatuh hati saat menjadi wali kelas 1. Awal mulanya memang berat karena memang belum terbiasa. Anak-anak kelas 1 yang masih dalam masa transisi dari TK ke SD. Begitu menguras energi bagi guru yang awam sepertiku. Perlahan aku mulai belajar untuk menjadi guru yang sebenarnya. Guru yang dirindukan siswanya, guru yang bukan hanya mendidik, tapi mengajarkan nilai nilai bermakna. Guru yang mengajar lewat hati bukan hanya sekedar berbagi informasi.      Menjadi guru kelas 1 justru membuatku banyak belajar dari mereka. Belajar memaafkan tanpa mendendam seperti mudahnya mereka memberi maaf kepada temannya setelah dijahili. Belajar bahwa dunia ini tidak sempit, tapi seluas imaginasi dalam pikiran kita. Belajar memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa syarat.

            Dan Inilah aku sekarang menjadi seorang guru. Aku yang tak bisa terpisah dari dunia anak anak dan pendidikan. Dunia yang menghabiskan separuh hariku, dengan amanah siswa yang luar biasa, dan para sahabat yang ditakdirkan mengelilingiku. Sahabat sahabat yang saling membantu, mewarnai hidupku dengan bermacam corak warna mereka masing masing. Indahnya duniaku, indahnya menjadi guru. Di setiap sujudku aku bersyukur atas TakdirMu. Dalam doa kusampaikan rasa terimakasihku pada ayah. “Ayah, terimakasih atas tuntunanmu, sekarang anakmu telah menjadi guru seperti harapan ayah. “

Terimakasih ya Allah untuk menggiring langkah kakiku menjadi seorang guru. Bukan pengusaha yang menghasilkan pundi pundi rupiah, bukan pula karyawan sukses sebuah perusahaan ternama yang mencetak robot robot pekerja. Duniaku penuh cinta. Allah menuntun langkahku melewati labirin perjalanan hidup. Dimana ujung pintu keluar itulah tempatku yang sebenarnya. Menjadi seorang GURU. Yaa betul menjadi guru. Dan aku bangga dengan profesiku. Pilihan terakhir yang terindah.

 

BIONARASI

 

 

 

 

 

                                                                                                                                          

 

 

 


Penulis bernama Widya Setianingsih, S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975. Putri dari Bapak Syarif (alm) dan Ibu Martini (alm).

Menjadi guru MI sejak tahun 2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Sejak 12 tahun yang lalu menjabat sebagai Pimred majalah sekolah bertajuk Kharisma, aktif di organisasi Komisi Pendidikan Nasional, dan menjadi ketua penggiat literasi madrasah. Penulis sangat menyukai dunia menulis dan dunia mendongeng.

Memiliki buku solo, kumpulan puisi cinta yang berjudul Laras-Laras Makna dalam Puisi.

Buku antologi yang sudah diterbitkan adalah Buku Ajar Juara UAMBN, Bukan Guru Biasa, Bahagianya menjadi Guru, Berjuta Cinta dengan Cerita, Sekuntum Puisi, Bumi 14 hari, Kumandang Kisah remaja, Kado untuk ibu, Jejak Pena Pengembara Aksara, Kisah Laskar Ilmu di Masa Pandemi, Suara dalam Kata, Sekuntum Puisi, Sinergi Guru dan Siswa Melejitkan Prestasi, Merindukan Baitulloh dan Antologi Persahabatan, Kidung Cinta Sahabat.

 Penulis dapat dihubungi melalui wa (085954558358), Ig. Widyabisma, facebook Widya Althafian atau email widyabisma9@gmail.com

 

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...