Hatiku Terpaut di Madrasah
Oleh Widya
Setianingsih,S.Ag
Saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayahku sering bertanya, “nduk
suk yen wes gede kepingin dadi opo?” (kalau kamu sudah besar kamu ingin
menjadi apa). Lantas
akupun menjawab dengan mantap. “Aku ingin menjadi dokter Yah”, ucapku mantap. Ayahku
bertanya lagi
“Opo kowe ra kepingin dadi guru nak,” {Apakah
kamu tidak ingin menjadi guru). “Aku pun menjawab, menjadi guru apa
kerennya yah”.
Sejalan dengan waktu akupun lulus sekolah tingkat atas. Ayahku tetap bersikeras aku harus menjadi seorang guru. Demi
menuruti keinginan ayah, akupun melanjutkan belajar di UIN Maliki Malang mengambil
jurusan keguruan. Aku sadar jurusan
ini sama sekali tidak aku minati.
Akupun menyelesaikan kuliah hanya untuk menjalankan baktiku sebagai seorang anak. Yah aku
terpaksa mengambil jurusan ilmu keguruan hanya untuk
menyenangkan hati orangtuaku. Dan
mulailah perjalananku dalam proses menjadi seorang guru. Kuliah hanya
sekedarnya, berburu nilai dan mencari teman baru. Benar
benar tidak ada ruhnya sebagai calon seorang guru.
Lulus tepat waktu 4 tahun. Aku masih
tetap kekeuh dengan prinsipku, tidak mau menjadi guru. Akhirnya aku bergabung
dengan sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
yang bergerak di bidang bantuan masyarakat kurang mampu. Setengah tahun aku
berkecimpung di dunia LSM. Pada
akhir bulan kubuka amplop gaji pertamaku.
Aku tercengang karena gaji yang diberikan saat itu
lumayan besar.
Bulan demi bulan aku jalani profesiku sebagai karyawati
LSM. Akan tetapi seperti ada ganjalan di dalam hatiku.
Mengapa hatiku tidak tenang yaa? Aku selalu berpikir, kok kerjanya ringan tapi
semudah ini bisa
mengumpulkan banyak uang. Demi
memenangkan hatiku, akhirnya akupun memilih keluar
dari LSM tersebut. Ayahku kembali
menawarkan sebuah lowongan untuk menjadi guru, tetapi aku tetap bertahan dengan
prinsipku. Aku akan menjadi guru, saat aku sudah tidak mendapatkan pekerjaan
lainnya.
Aku pun mencoba peruntunganku dengan
melamar di instansi dan perusahaan swasta. Akhirnya diterima di sebuah
perusahaan alat listrik ternama. Disitulah aku merasakan susahnya mencari
penghidupan. Karena perusahaan itu bertempat di Surabaya, aku pun harus siap
menjadi anak kost. Bekerja dengan 3 shift, wow luar biasa. Pagi sampai siang,
shift sore hingga malam bahkan shift malam
hingga pagi menjelang. Aku dilanda kebosanan dengan pola yang itu-itu saja.
Hidup laksana robot, dengan rutinitas yang sama setiap harinya. Capek fisik,
fikiran dan juga kangen dengan suasana rumah. Saat itu kemudian orangtuaku memintaku
pulang, karena merasa tidak tega dengan kondisiku di sana. Akhirnya setelah 3 bulan aku mengadu nasib di ibukota Jawa Timur
akupun pulang ke rumah meninggalkan
pekerjaanku.
Lama menganggur membuatku berpikir untuk mencoba-coba menjadi
guru. Aku menerima tawaran dari sebuah madrasah kecil di dekat kampungku.
Muridnya tak seberapa banyak, satu sekolah hanya berkisar puluhan saja. Saat
pertama kali aku masuk, aku mengajar kelas 3 dan jumlah siswanya hanya 7 anak. Disinilah babak kehidupanku menjadi seorang guru dimulai.
Awal mula mengajar
aku agak kebingungan karena
tidak terbiasa menjadi guru. Bagaimana cara menyampaikan materi, mengkondisikan
kelas dan menghadapi mereka di depan kelas, sungguh aku minim ketrampilan itu .
Karena mengajar dengan setengah hati, akupun sering uring
uringan dengan ulah murid muridku yang aku nilai bandel. Akhir bulan aku
menerima gaji pertama.
Gaji yang kuterima saat itu hanya
Rp. 50.000 perbulannya (tahun 2000).
Wow perbandingan yang luar biasa. Betapa dulu di LSM gajiku 30 kali lipatnya
dibanding itu. Kata guru senior di madrasah tersebut, “maaf kami hanya bisa memberi
ini, hanya cukup untuk membeli sabun mandi
saja. Anak
anak di sini banyak yang dibebaskan untuk tidak membayar spp, karena rata-rata mereka dari keluarga kurang mampu.”
Sampai kemudian di suatu titik aku merasa jatuh hati
dengan profesi ini, profesi guru. Aku sering merasakan kesungguhan murid
muridku. Setiap kali belajar aku melihat ketulusan
yang terpancar di binar mata mereka. Wajah-wajah yang
menampakkan rasa bahagia, antusias dan semangat. Luluh hati ini melihat kesungguhan mereka. Mereka bukan
dari kalangan masyarakat menengah ke atas,
bukan anak anak yang dibesarkan dengan kemewahan. Orangtua mereka kebanyakan
pedagang sayur, ikan, buah, dan juga buruh. Alat tulis yang dipunya hanya satu
dua pensil, yang diraut atas bawah. Terkadang menghapus pun dengan menggunakan
karet gelang yang digulung di pensilnya.
Seragam yang sudah kusam jauh dari warna putih, karena terkadang seragam turunan dari kakak mereka.
Sepatu.. Ooh jangan ditanya lagi. Kebesaran itu sudah bagus daripada bolong di sana sini. Tetapi semangat mereka,
masyaallah luar biasa. Hatiku yang menolak menjadi pendidik, seketika leleh.
Kesombonganku luluh lantak. Betapa berdosanya jika aku tidak mengimbangi
kesungguhan mereka dengan menjadi guru yang sesungguhnya.
Demi menyambut semangat mereka,
akupun bangkit. Aku harus bisa menjadi guru kebanggaan mereka. Prinsip hidupku adalah kerjakan segala
sesuatu dengan totalitas. Jika memutuskan menjadi guru maka akupun harus totalitas,
menjadi guru yang profesional. Akhirnya aku mengikuti berbagai pelatihan guru,
kelompok kerja guru, menimba ilmu sana sini dari guru guru yang lebih senior. Mulai
banyak membaca buku tentang
trik untuk menjadi guru yang profesional. Aku ajari anak
anak didikku dengan berbagai metode baru yang jarang mereka dapatkan. Aku ajak
mereka belajar sambil bermain, simulasi, dan berbagai metode menyenangkan
lainnya. Aku mengajari mereka dengan hati. Aku cintai mereka dengan sepenuhnya.
5
tahun aku mengajar di madrasah tersebut, hingga suatu hari ada salah satu teman
di KKG menawarkan untuk menjadi guru di madrasah yang lebih besar. Madrasah
Ibtidaiyah Khadijah. Salah satu motivasiku untuk melamar di sana adalah aku
ingin lebih mengembangkan potensi diriku.
Karena merasa kurang berkembang
sebab minimnya sarana dari madrasah yang lama. Saat test penerimaan guru baru
aku merasakan atmosfer persaingan yang ketat, batinku dalam hati. ini benar
benar sekolah yang bagus. Menilik banyaknya calon guru yang mendaftar. Bayangkan
puluhan pendaftar yang diterima hanya 2 orang. Berbagai tes aku jalani. Pada saat itu aku
merasa kurang percaya diri dengan kemampuanku. Apalagi saat menjalani test IT,
aku benar benar gaptek. Dan benarlah saat pengumuman, aku tidak lolos untuk menjadi
guru di sana.
Harus bersabar menunggu selama satu tahun
kemudian, aku baru dipanggil untuk mengajar di MI Khadijah. Rasa gembira
menyelimuti diriku. Aku bertekad untuk mengejar segala ketertinggalanku.
Mempelajari banyak hal untuk memantaskan diriku sendiri agar menjadi guru yang profesional.
Di sinilah aku seakan menemukan oase ilmu di tengah padang pasir bagi diriku
yang haus untuk belajar. Dukungan dari kepala madrasah dan teman teman sejawat
yang tidak pelit untuk membagi ilmunya semakin melengkapi percepatan ilmu ini.
Aku semakin jatuh hati saat menjadi
wali kelas 1. Awal mulanya memang berat
karena memang belum terbiasa. Anak-anak kelas 1 yang masih dalam masa transisi
dari TK ke SD. Begitu menguras energi bagi guru yang awam sepertiku. Perlahan
aku mulai belajar untuk menjadi guru yang sebenarnya. Guru yang dirindukan
siswanya, guru yang bukan hanya mendidik, tapi mengajarkan nilai nilai
bermakna. Guru yang mengajar lewat hati bukan hanya sekedar berbagi informasi. Menjadi guru kelas 1 justru membuatku
banyak belajar dari mereka. Belajar
memaafkan tanpa mendendam seperti mudahnya mereka memberi maaf kepada temannya
setelah dijahili. Belajar bahwa dunia ini tidak sempit, tapi seluas imaginasi
dalam pikiran kita. Belajar memberi tanpa pamrih, mencintai tanpa syarat.
Dan Inilah aku sekarang menjadi seorang guru. Aku yang tak
bisa terpisah dari dunia anak anak dan pendidikan. Dunia yang menghabiskan
separuh hariku, dengan amanah siswa yang luar biasa, dan para sahabat yang ditakdirkan
mengelilingiku. Sahabat sahabat yang saling membantu, mewarnai hidupku dengan
bermacam corak warna mereka masing masing. Indahnya duniaku, indahnya menjadi
guru. Di setiap
sujudku aku bersyukur atas TakdirMu. Dalam
doa kusampaikan rasa terimakasihku pada ayah. “Ayah, terimakasih atas
tuntunanmu, sekarang anakmu telah menjadi guru seperti harapan ayah. “
Terimakasih ya Allah untuk
menggiring langkah kakiku menjadi seorang guru. Bukan pengusaha yang
menghasilkan pundi pundi rupiah, bukan pula karyawan sukses sebuah perusahaan ternama yang mencetak robot robot pekerja.
Duniaku penuh cinta. Allah menuntun langkahku melewati labirin perjalanan
hidup. Dimana ujung pintu keluar itulah tempatku yang sebenarnya. Menjadi
seorang GURU. Yaa betul menjadi guru. Dan aku bangga dengan profesiku. Pilihan
terakhir yang terindah.
BIONARASI
Penulis bernama
Widya Setianingsih, S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975. Putri dari Bapak Syarif (alm) dan Ibu Martini (alm).
Menjadi
guru MI sejak tahun 2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Sejak 12 tahun yang lalu menjabat
sebagai Pimred majalah sekolah bertajuk
Kharisma, aktif di
organisasi Komisi Pendidikan Nasional, dan menjadi ketua penggiat literasi
madrasah. Penulis sangat menyukai dunia menulis dan dunia mendongeng.
Memiliki
buku solo, kumpulan puisi cinta yang berjudul Laras-Laras Makna dalam Puisi.
Buku
antologi yang sudah diterbitkan adalah
Buku Ajar Juara UAMBN, Bukan Guru Biasa, Bahagianya
menjadi Guru, Berjuta
Cinta dengan Cerita, Sekuntum Puisi,
Bumi 14 hari, Kumandang Kisah remaja, Kado untuk ibu, Jejak Pena Pengembara
Aksara, Kisah Laskar Ilmu di Masa Pandemi, Suara dalam Kata, Sekuntum Puisi,
Sinergi Guru dan Siswa Melejitkan Prestasi, Merindukan Baitulloh dan Antologi
Persahabatan, Kidung Cinta Sahabat.
Penulis dapat dihubungi melalui wa
(085954558358), Ig. Widyabisma,
facebook Widya Althafian atau email
widyabisma9@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar