Dasyatnya Dongeng
Oleh : Widya Setianingsih
Menjadi
guru selama 21 tahun menorehkan banyak kisah. Suka duka saling berkelindan menyatu
menjadikan satu cerita yang indah. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam setiap
pembelajaran menjadikan seorang guru kaya akan ilmu, luas akan pengalaman. Dan
tentunya akan menambah khazanah keilmuan keguruan. Satu pembelajaran berkesan
yang kualami saat mengajar. Aku terbiasa
ditugaskan mengajar madrasah di kelas atas, yaitu kelas 4, 5 dan 6. Pada tahun ke
8 aku mengajar, guru kelas 1 purna dari tugasnya. Kemudian bapak kepala madrasah
memberikan mandat kepadaku untuk mengajar di kelas 1 menggantikan guru yang
purna. Saat itu campur aduk perasaanku. Antara bingung, gugup dan khawatir
menyatu mengawali tugasku yang baru.
Kekhawatiranku
terjawab di awal-awal pembelajaran. Ternyata mengajar di kelas 1 tidaklah
semudah yang aku bayangkan. Minggu-minggu pertama, anak-anak di kelas satu
sukses membuat kepalaku vertigo. Ketika sedang menyampaikan materi, beberapa
anak anjang sana. Mereka berjalan-jalan ke meja temannya. Sementara yang lain
asyik bermain peralatan alat tulis mereka. Saat aku hampiri dan bertanya, “Nak
coba perhatikan bu guru” kataku.
Seorang anak menjawab, ”ada zombie ayoo tembak” sambil
mengarahkan kotak pensilnya kearahku. Dia menyuarakan suara senapan. Dor..dor..dorr.
Rupanya mereka menganggap aku adalah zombie yang akan memakan mereka. Duh gusti
ucapku menahan geli. Fokus pada kumpulan
anak yang mengaku sebagai pemburu zombie, di deretan bangku yang lainnya
kudengar suara anak menangis dengan kencang. Praktis kepalaku menoleh ke sumber
suara. Kuhampiri segera, “mengapa menangis nak” ucapku setengah panik.
Siswa yang berbadan agak besar menjawab dengan jumawa, ”aku
yang pukul dia bu guru” katanya sambil menudingkan jarinya ke arah teman yang sedang
menangis.
“Mengapa temannya dipukul sayang” ucapku dengan gemas.
Dengan santainya dia menjawab, “Dia tidak mau meminjamkan
penggarisnya kepada saya bu, ya sudah aku pukul saja biar kapok. Habis dia
pelit sih,” jawabnya seolah tanpa dosa. Ya Allah ucapku sambil mengelus dada.
Belajar
dari situasi yang nano-nano dikelas satu, aku segera berusaha untuk beradaptasi
dengan cepat. Kuputar otakku untuk mencari jalan keluarnya. Apa ya yang harus
aku lakukan pada siswa kelas satu ini. Kucoba metode baru dengan bernyanyi dan menari.
Alhamdulillah ada kemajuan ucapku. Mereka mau mengikuti menari, walaupun ada
beberapa siswa yang melakukan gerakan dengan ekstrem. Misalnya over gerakan,
atau sengaja menubruk temannya dengan keras hingga temannya terjatuh dan
menangis. Bahkan ada satu siswa yang diam saja berdiri di tepi bangkunya. Aku
hampiri sambil membujuk dengan kata-kata yang manis, “ayo sayang kita menari
bersama yuk,” ucapku membujuk.
Tapi dia hanya menunduk tanpa kata. Tiba- tiba ada
seorang teman yang nyelutuk, “bu guru si Reno ngantong,” (buang air besar di
celana) ucapnya sambil menutup hidungnya. Pantas saja aku menghirup bau yang
agak ganjil batinku. Teman-teman yang lain segera menghampiri sambil
mengejak-ejek Reno. Dan pecahlah bendungan airmata si Reno. Aku segera menenangkan
Reno, “ayo sayang ke kamar mandi yuk, bu guru bersihkan badanmu”. “Anak-anak
yang lain kerjakan buku tema halaman 12 yaa”, ucapku.
Aku segera membawa Reno ke kamar mandi membantu
membersihkan badannya. Saat tengah membersihkan badan Reno, aku mendengar suara
gaduh di depan kamar mandi. Aku buka sedikit pintu kamar mandi, ya Allah
sebagian besar murid-muridku sudah berdiri di depan kamar mandi penuh rasa
ingin tahu. “Ayo nak kembali ke kelas, kerjakan tugas kalian’ kataku setengah
berteriak. Tapi rupanya ucapanku bak angin surga, berlalu tanpa ada tanggapan.
Setengah kesal aku berkata lagi, “ayo naak bu Wid mohon kembali ke kelas,” ucapku
dengan memelas. Separoh dari mereka segera berlari ke kelas. Dua tiga dari
mereka tetap dengan posisi siap grak memandangku seolah aku tak pernah berkata
apa-apa.
Setiap
selesai pembelajaran, migrain menyergap kepalaku. Aku evaluasi pembelajaran
selama 1 bulan ini. Pembelajaran tidak berjalan dengan maksimal. Suasana kelas
yang kurang kondusif, materi yang tidak tersampaikan dengan tuntas. Sebagian
besar siswa kurang konsentrasi saat mengikuti
pembelajaran. Permasalahan ini cukup membuncahkan rasa khawatir dalam diriku.
Seolah mengajar esok hari menjadi momok yang menghantui hari-hariku.
Dengan menangis aku sharing dengan guru partner kelas
satu. Dari temanku aku memperoleh informasi yang cukup menenangkan hati. Satu
testimoni yang aku garis besari, menjadi guru itu tidak hanya sekedar transfer
ilmu saja. Akan tetapi kita harus bisa menjadi seorang pendidik, orangtua, dan
teman bagi mereka. Libatkan hati saat mengajar. Kalimat terakhir tersebut
seolah menohok hatiku. Ya memang benar aku tidak melibatkan hatiku saat
mengajar mereka. Aku mengajar hanya dengan separuh hati. Sekedar mendidik, mentransfer
ilmu, dan mengajar tanpa melibatkan cinta.
Sejak
hari itu tumbuh tekad kuat dalam hatiku. Kuhadirkan wajah-wajah lugu
siswa-siswiku. Kuhilangkan testimoni tentang mereka di dalam benakku. Tidak
mereka bukan anak-anak yang malas, mereka hanya belum terbiasa untuk belajar dengan pola yang lebih teratur.
Mereka bukan anak yang nakal, tapi mereka sedang belajar bersosialisasi dengan
teman dan peraturan di sekolah. Aku
harus bisa menjadi mediator bagi mereka untuk mengenal dan
memahami pola belajar di tingkat sekolah
dasar. Target belajar segera aku ubah.
Jika mengajar di kelas jenjang
lebih tinggi, aku bisa lebih mudah fokus menyampaikan materi sesuai dengan tujuan
pembelajaran. Akan tetapi di kelas 1 hal seperti itu tidak dapat aku paksakan.
Segera kuingat bahwa anak-anak kelas 1 adalah peralihan dari sekolah TK, jadi aku harus bisa memahami masa
transisi mereka,
Langkah
awal segera aku rencanakan. Strategi
perang harus segera aku ubah. Hal
pertama yang aku lakukan adalah mengenali dunia mereka. Aku harus masuk dalam dunia mereka. Dunia mereka adalah dunia bermain, kaya akan warna,
imaginasi, petualangan
dan gerak. Anak anak usia kelas 1 sangat suka bermain. Maka
aku harus memasuki dunia bermain mereka. Mereka akan lebih mengapresiasi
gurunya dan merasa
gurunya menarik karena bisa diajak bermain. Aku libatkan imaginasi mereka, suasana kompetisi, dan petualangan saat berinteraksi dengan mereka. Dan benar saja strategi ini mulai menampakkan hasil. Setelah
aku mencoba membaur dengan dunia mereka,
dengan mudah aku menggiring
mereka memasuki duniaku sebagai guru,
dunia belajar.
Aku banyak membaca tentang pendidikan anak usia TK dan
kelas dasar. Dari buku-buku tersebut aku mendapat informasi. Bahwa rentang konsentrasi sangat tergantung pada usia. Dan konsentrasi itu
akan berkembang sejalan dengan tingkat usianya.
Untuk anak usia sekolah dasar durasi konsentrasi antara 30 - 40 menit.
Sedangkan untuk anak usia Tk – klas 1 SD rentang konsentrasi mereka sekitar 12
-15 menit. (Sumber: Psikologi
pendidikan, karya Ngalim Purwanto 1990) Aku kenali tanda-tanda saat mereka sudah kehilangan konsentrasi. Maka saat melihat siswaku sudah tidak fokus, usil dengan temannya, banyak gerak
itu pertanda mereka kurang konsentrasi. Segera kuajak
mereka
untuk berekreasi. Aku mengajak mereka untuk bergerak, bernyanyi, menari,
tepuk ataupun game-game ice breaker yang aku variasikan sesuai
dengan kondisi.
Untuk metode penyampaian materi aku gunakan
bermacam-macam variasi agar tidak jenuh. Siswa kelas 1 kebanyakan anak-anak bertipe
kinestetik. Mereka banyak beraktivitas, suka bergerak. Untuk itu aku gunakan
metode yang bisa mewadahi keaktifan mereka. Misalnya dengan lacak kata, mencari
jejak yang hilang, belajar diluar kelas ataupun melakukan aktivitas yang
melibatkan gerakan. Untuk anak tipikal
auditori atau visual, aku gunakan metode membaca dengan nyaring, belajar dengan
benda nyata dan gambar.
Satu
metode yang aku anggap paling jitu adalah metode bercerita atau mendongeng.
Kutemukan metode ini secara tidak sengaja. Saat itu kelas sedang ribut seperti
pasar sayur. Aku tenangkan anak-anak, mulai dari lisan sampai kuketuk papan
tulis. Tapi perhatian kelas belum separuhnya mengarah padaku. Spontan aku
bunyikan suara harimau. “Hauuum, harimau yang lapar sedang mencari mangsa,”
ujarku. Dan seratus persen perhatian anak-anak segera mengarah kepadaku. Tak
mau membuang kesempatan berharga ini segera kulanjutkan cerita dongengku. Tanpa
skrip cerita aku berusaha mengingat-ingat dongeng anak yang pernah kubaca. Aku
ganti suaraku sesuai dengan tokoh yang aku perankan. Kadang suaraku berat
membesar, suara seperti anak-anak, bahkan suara seorang kakek-nenek. Aku
bersyukur pernah ikut kelas mendongeng. Sejak itu metode mendongeng sering aku
gunakan. Aku libatkan secara aktif mereka saat
mendongeng. Aku acak-acak hati mereka. Kadang aku dongengkan cerita sedih yang membuat mereka menampakkan
wajah-wajah sendu. Aku bawakan tawa dalam kisah lucu yang membuat mereka
tertawa terbahak-bahak. Atau kadang cerita mencekam yang membuat mereka menahan
napas. Secara perlahan aku masukkan tuntunan karakter di dalam
dongeng-dongengku. Aku lembutkan hati mereka dengan dongeng. Tanpa merasa bosan
mereka selalu menantikan dongeng-dongeng dariku.
Allah
menjawab doaku. Hari-hari yang suram saat mengajar berakhir sudah. Kelasku
menjadi kelas yang menyenangkan. Pembelajaran berjalan dengan lancar seperti
yang aku harapkan. Tidak hanya tujuan dan materi pembelajaran saja yang
tercapai. Tetapi perlahan dengan pasti aku menanamkan karakter dan budi pekerti
kepada mereka. Anak-anak yang dahulu aku amati usil, suka mengganggu temannya
dan cuek terhadap guru sedikit demi sedikit mulai berubah. Walaupun karakter
mereka sebagai anak-anak tetap ada. Anak-anak
yang suka bergerak, ceria dan agak usil. Ah itu memang kodrat siswa kelas 1.
Akan tetapi aku bangga dengan pencapaian mereka. Mereka telah mengubah diriku
mencintai kelas 1. Aku selalu merindukan mereka, dan aku ingin menjadi guru
yang dirindukan siswa-siswiku. Saat kelas sedang tenang mengerjakan tugas,
aku tatap wajah-wajah lugu mereka satu
persatu. Terimakasih nak, terimakasih sudah mengajari bu guru. Kalianlah
sebenarnya guru sejati yang mengajariku untuk menjadi guru yang baik. Ucapku
dalam hati sambil menahan tangis.
Mengajar
adalah seni. Seni itu indah. Seni itu tidak kaku. Seni itu melibatkan semua
komponen dan indera. Baik mata, telinga, pikiran dan fisik. Seni itu melibatkan
hati karena berkaitan dengan rasa. Apalah artinya mengajar tanpa melibatkan HATI. Anak anak dengan
segala kepolosan dan keluguannya adalah manusia yang peka. Jika kita mengajar
mereka dengan kasih sayang, dengan rasa cinta, maka mereka akan merasakannya.
Jika kita mengajar dengan hati, maka
mereka akan menerimanya dengan hati pula. Bukan
hal yang sulit membentuk mereka, jika hatinya sudah tersentuh. Selama kita masih punya hati, tidak ada
yang sulit untuk mengajar
siswa kelas 1. Ingatkan hati
kita untuk terus menerus mengajar karena Allah. Maka Allah akan membukakan jalan untuk kita dengan
caraNya yang indah. Allah akan melembutkan hati kita. Hanya dengan hati yang lembut kita
dapat menerima mereka dengan
penuh rasa
kasih sayang.
BIONARASI
Penulis Bernama Widya Setianingsih,
S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975.Putri
ke-4 dari bapak Syarif (alm) dan ibu Martini (alm)
Menjadi guru MI sejak tahun 2000, dan
saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Menjabat sebagai Pimred majalah
sekolah, dan ketua penggiat literasi madrasah. Penulis sangat menyukai dunia
menulis dan dunia mendongeng.
Buku antologi yang sudah diterbitkan adalah
Bukan Guru Biasa, Bahagianya menjadi Guru, Berjuta Cinta dengan
Cerita, Sekuntum Puisi, dan Bumi 14 hari. Penulis dapat
dihubungi melalui wa (085954558358), Ig. Widyabisma atau email
widyabisma9@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar