Minggu, 03 Oktober 2021

Dasyatnya Dongeng

 

Dasyatnya Dongeng

Oleh : Widya Setianingsih

            Menjadi guru selama 21 tahun menorehkan banyak kisah. Suka duka saling berkelindan menyatu menjadikan satu cerita yang indah. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam setiap pembelajaran menjadikan seorang guru kaya akan ilmu, luas akan pengalaman. Dan tentunya akan menambah khazanah keilmuan keguruan. Satu pembelajaran berkesan yang  kualami saat mengajar. Aku terbiasa ditugaskan mengajar madrasah di kelas atas, yaitu kelas 4, 5 dan 6. Pada tahun ke 8 aku mengajar, guru kelas 1 purna dari tugasnya. Kemudian bapak kepala madrasah memberikan mandat kepadaku untuk mengajar di kelas 1 menggantikan guru yang purna. Saat itu campur aduk perasaanku. Antara bingung, gugup dan khawatir menyatu mengawali tugasku yang baru.

            Kekhawatiranku terjawab di awal-awal pembelajaran. Ternyata mengajar di kelas 1 tidaklah semudah yang aku bayangkan. Minggu-minggu pertama, anak-anak di kelas satu sukses membuat kepalaku vertigo. Ketika sedang menyampaikan materi, beberapa anak anjang sana. Mereka berjalan-jalan ke meja temannya. Sementara yang lain asyik bermain peralatan alat tulis mereka. Saat aku hampiri dan bertanya, “Nak coba perhatikan bu guru” kataku.

Seorang anak menjawab, ”ada zombie ayoo tembak” sambil mengarahkan kotak pensilnya kearahku. Dia menyuarakan suara senapan. Dor..dor..dorr. Rupanya mereka menganggap aku adalah zombie yang akan memakan mereka. Duh gusti ucapku menahan geli.  Fokus pada kumpulan anak yang mengaku sebagai pemburu zombie, di deretan bangku yang lainnya kudengar suara anak menangis dengan kencang. Praktis kepalaku menoleh ke sumber suara. Kuhampiri segera, “mengapa menangis nak” ucapku setengah panik.

Siswa yang berbadan agak besar menjawab dengan jumawa, ”aku yang pukul dia bu guru” katanya sambil menudingkan jarinya ke arah teman yang sedang menangis.

“Mengapa temannya dipukul sayang” ucapku dengan gemas.

Dengan santainya dia menjawab, “Dia tidak mau meminjamkan penggarisnya kepada saya bu, ya sudah aku pukul saja biar kapok. Habis dia pelit sih,” jawabnya seolah tanpa dosa. Ya Allah ucapku sambil mengelus dada.

            Belajar dari situasi yang nano-nano dikelas satu, aku segera berusaha untuk beradaptasi dengan cepat. Kuputar otakku untuk mencari jalan keluarnya. Apa ya yang harus aku lakukan pada siswa kelas satu ini. Kucoba metode baru dengan bernyanyi dan menari. Alhamdulillah ada kemajuan ucapku. Mereka mau mengikuti menari, walaupun ada beberapa siswa yang melakukan gerakan dengan ekstrem. Misalnya over gerakan, atau sengaja menubruk temannya dengan keras hingga temannya terjatuh dan menangis. Bahkan ada satu siswa yang diam saja berdiri di tepi bangkunya. Aku hampiri sambil membujuk dengan kata-kata yang manis, “ayo sayang kita menari bersama yuk,” ucapku membujuk.

Tapi dia hanya menunduk tanpa kata. Tiba- tiba ada seorang teman yang nyelutuk, “bu guru si Reno ngantong,” (buang air besar di celana) ucapnya sambil menutup hidungnya. Pantas saja aku menghirup bau yang agak ganjil batinku. Teman-teman yang lain segera menghampiri sambil mengejak-ejek Reno. Dan pecahlah bendungan airmata si Reno. Aku segera menenangkan Reno, “ayo sayang ke kamar mandi yuk, bu guru bersihkan badanmu”. “Anak-anak yang lain kerjakan buku tema halaman 12 yaa”, ucapku.

Aku segera membawa Reno ke kamar mandi membantu membersihkan badannya. Saat tengah membersihkan badan Reno, aku mendengar suara gaduh di depan kamar mandi. Aku buka sedikit pintu kamar mandi, ya Allah sebagian besar murid-muridku sudah berdiri di depan kamar mandi penuh rasa ingin tahu. “Ayo nak kembali ke kelas, kerjakan tugas kalian’ kataku setengah berteriak. Tapi rupanya ucapanku bak angin surga, berlalu tanpa ada tanggapan. Setengah kesal aku berkata lagi, “ayo naak bu Wid mohon kembali ke kelas,” ucapku dengan memelas. Separoh dari mereka segera berlari ke kelas. Dua tiga dari mereka tetap dengan posisi siap grak memandangku seolah aku tak pernah berkata apa-apa.

            Setiap selesai pembelajaran, migrain menyergap kepalaku. Aku evaluasi pembelajaran selama 1 bulan ini. Pembelajaran tidak berjalan dengan maksimal. Suasana kelas yang kurang kondusif, materi yang tidak tersampaikan dengan tuntas. Sebagian besar siswa   kurang konsentrasi saat mengikuti pembelajaran. Permasalahan ini cukup membuncahkan rasa khawatir dalam diriku. Seolah mengajar esok hari menjadi momok yang menghantui hari-hariku.

Dengan menangis aku sharing dengan guru partner kelas satu. Dari temanku aku memperoleh informasi yang cukup menenangkan hati. Satu testimoni yang aku garis besari, menjadi guru itu tidak hanya sekedar transfer ilmu saja. Akan tetapi kita harus bisa menjadi seorang pendidik, orangtua, dan teman bagi mereka. Libatkan hati saat mengajar. Kalimat terakhir tersebut seolah menohok hatiku. Ya memang benar aku tidak melibatkan hatiku saat mengajar mereka. Aku mengajar hanya dengan separuh hati. Sekedar mendidik, mentransfer ilmu, dan mengajar tanpa melibatkan cinta.

            Sejak hari itu tumbuh tekad kuat dalam hatiku. Kuhadirkan wajah-wajah lugu siswa-siswiku. Kuhilangkan testimoni tentang mereka di dalam benakku. Tidak mereka bukan anak-anak yang malas, mereka hanya belum terbiasa untuk belajar dengan pola yang lebih teratur. Mereka bukan anak yang nakal, tapi mereka sedang belajar bersosialisasi dengan teman dan peraturan di sekolah. Aku harus bisa menjadi mediator bagi mereka untuk mengenal dan memahami  pola belajar di tingkat sekolah dasar. Target belajar segera aku ubah. Jika mengajar di kelas jenjang lebih tinggi, aku bisa lebih mudah fokus menyampaikan materi sesuai dengan tujuan pembelajaran. Akan tetapi di kelas 1 hal seperti itu tidak dapat aku paksakan. Segera kuingat bahwa anak-anak kelas 1 adalah peralihan dari sekolah TK,  jadi aku harus bisa memahami masa transisi mereka,

            Langkah awal segera aku rencanakan. Strategi perang harus segera aku ubah.  Hal pertama yang aku lakukan adalah mengenali dunia mereka. Aku harus masuk dalam dunia mereka. Dunia mereka adalah dunia bermain, kaya akan warna, imaginasi, petualangan dan gerak. Anak anak usia kelas 1 sangat suka bermain. Maka aku harus memasuki dunia bermain mereka. Mereka akan lebih mengapresiasi gurunya dan merasa gurunya menarik karena bisa diajak bermain. Aku libatkan imaginasi mereka, suasana kompetisi, dan petualangan saat berinteraksi dengan mereka. Dan benar saja strategi ini mulai menampakkan hasil. Setelah aku mencoba membaur dengan dunia mereka, dengan mudah aku menggiring mereka memasuki duniaku sebagai guru, dunia belajar.

Aku banyak membaca tentang pendidikan anak usia TK dan kelas dasar. Dari buku-buku tersebut aku mendapat informasi. Bahwa rentang konsentrasi sangat  tergantung pada usia. Dan konsentrasi itu akan berkembang sejalan dengan tingkat usianya.  Untuk anak usia sekolah dasar durasi konsentrasi antara 30 - 40 menit. Sedangkan untuk anak usia Tk – klas 1 SD rentang konsentrasi mereka sekitar 12 -15 menit. (Sumber: Psikologi pendidikan, karya Ngalim Purwanto 1990) Aku kenali tanda-tanda saat mereka sudah kehilangan konsentrasi. Maka saat melihat siswaku sudah tidak fokus, usil dengan temannya, banyak gerak itu pertanda mereka kurang konsentrasi. Segera kuajak mereka untuk berekreasi. Aku mengajak mereka untuk bergerak, bernyanyi, menari, tepuk ataupun game-game ice breaker yang aku variasikan sesuai dengan kondisi.

            Untuk metode penyampaian materi aku gunakan bermacam-macam variasi agar tidak jenuh. Siswa kelas 1 kebanyakan anak-anak bertipe kinestetik. Mereka banyak beraktivitas, suka bergerak. Untuk itu aku gunakan metode yang bisa mewadahi keaktifan mereka. Misalnya dengan lacak kata, mencari jejak yang hilang, belajar diluar kelas ataupun melakukan aktivitas yang melibatkan gerakan. Untuk anak  tipikal auditori atau visual, aku gunakan metode membaca dengan nyaring, belajar dengan benda nyata dan gambar.

            Satu metode yang aku anggap paling jitu adalah metode bercerita atau mendongeng. Kutemukan metode ini secara tidak sengaja. Saat itu kelas sedang ribut seperti pasar sayur. Aku tenangkan anak-anak, mulai dari lisan sampai kuketuk papan tulis. Tapi perhatian kelas belum separuhnya mengarah padaku. Spontan aku bunyikan suara harimau. “Hauuum, harimau yang lapar sedang mencari mangsa,” ujarku. Dan seratus persen perhatian anak-anak segera mengarah kepadaku. Tak mau membuang kesempatan berharga ini segera kulanjutkan cerita dongengku. Tanpa skrip cerita aku berusaha mengingat-ingat dongeng anak yang pernah kubaca. Aku ganti suaraku sesuai dengan tokoh yang aku perankan. Kadang suaraku berat membesar, suara seperti anak-anak, bahkan suara seorang kakek-nenek. Aku bersyukur pernah ikut kelas mendongeng. Sejak itu metode mendongeng sering aku gunakan. Aku libatkan secara aktif mereka saat  mendongeng. Aku acak-acak hati mereka. Kadang aku dongengkan  cerita sedih yang membuat mereka menampakkan wajah-wajah sendu. Aku bawakan tawa dalam kisah lucu yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Atau kadang cerita mencekam yang membuat mereka menahan napas. Secara perlahan aku masukkan tuntunan karakter di dalam dongeng-dongengku. Aku lembutkan hati mereka dengan dongeng. Tanpa merasa bosan mereka selalu menantikan dongeng-dongeng dariku.

            Allah menjawab doaku. Hari-hari yang suram saat mengajar berakhir sudah. Kelasku menjadi kelas yang menyenangkan. Pembelajaran berjalan dengan lancar seperti yang aku harapkan. Tidak hanya tujuan dan materi pembelajaran saja yang tercapai. Tetapi perlahan dengan pasti aku menanamkan karakter dan budi pekerti kepada mereka. Anak-anak yang dahulu aku amati usil, suka mengganggu temannya dan cuek terhadap guru sedikit demi sedikit mulai berubah. Walaupun karakter mereka sebagai anak-anak tetap ada.  Anak-anak yang suka bergerak, ceria dan agak usil. Ah itu memang kodrat siswa kelas 1. Akan tetapi aku bangga dengan pencapaian mereka. Mereka telah mengubah diriku mencintai kelas 1. Aku selalu merindukan mereka, dan aku ingin menjadi guru yang dirindukan siswa-siswiku. Saat kelas sedang tenang mengerjakan tugas, aku  tatap wajah-wajah lugu mereka satu persatu. Terimakasih nak, terimakasih sudah mengajari bu guru. Kalianlah sebenarnya guru sejati yang mengajariku untuk menjadi guru yang baik. Ucapku dalam hati sambil menahan tangis.

            Mengajar adalah seni. Seni itu indah. Seni itu tidak kaku. Seni itu melibatkan semua komponen dan indera. Baik mata, telinga, pikiran dan fisik. Seni itu melibatkan hati karena berkaitan dengan rasa. Apalah artinya mengajar tanpa melibatkan HATI. Anak anak dengan segala kepolosan dan keluguannya adalah manusia yang peka. Jika kita mengajar mereka dengan kasih sayang, dengan rasa cinta, maka mereka akan merasakannya. Jika kita mengajar dengan hati, maka mereka akan menerimanya dengan hati pula. Bukan hal yang sulit membentuk mereka, jika hatinya sudah tersentuh. Selama kita masih punya hati, tidak ada yang sulit untuk mengajar siswa kelas 1. Ingatkan hati kita untuk terus menerus mengajar karena Allah. Maka Allah akan membukakan jalan untuk kita dengan caraNya yang indah. Allah akan melembutkan hati kita. Hanya dengan hati yang lembut kita dapat menerima mereka dengan penuh rasa kasih sayang.

 

           BIONARASI

Penulis Bernama Widya Setianingsih, S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975.Putri ke-4 dari bapak Syarif (alm) dan ibu Martini (alm)

Menjadi guru MI sejak tahun 2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Menjabat sebagai Pimred majalah sekolah, dan ketua penggiat literasi madrasah. Penulis sangat menyukai dunia menulis dan dunia mendongeng.

Buku antologi yang sudah diterbitkan adalah Bukan Guru Biasa, Bahagianya menjadi GuruBerjuta Cinta dengan Cerita, Sekuntum Puisi, dan Bumi 14 hari.  Penulis dapat dihubungi melalui wa (085954558358), Ig. Widyabisma atau email widyabisma9@gmail.com

 


 

 

 

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...