“Tidak apa-apa nduk kamu bisa tetap kuliah, kita pasti bisa melaluinya”.Ujar ibu sambil
menatapku dengan syahdu. Itu kalimat yang ibu ucapkan setelah 7 hari kepergian
bapak. Ya bapak berpulang di saat aku masih kuliah semester 4. Kami adalah lima
bersaudara. Semuanya anak perempuan. Jika anak laki-laki lima bersaudara dalam
istilah jawa disebut Pandawa. Sedangkan sebutan bagi kami lima bersaudara
perempuan adalah Pancagati. Jarak umur antara kami terpaut tiga sampai empat
tahun untuk setiap anak. Aku adalah anak yang ke-empat, di atasnya ragil.
Kehidupan
kami saat kecil cukup berada. Bapak bekerja sebagai pemborong bangunan. Istilah
saat ini tepatnya kontraktor. Bapak bekerjasama dengan berbagai pihak untuk
membangun tempat-tempat umum. Misalnya membangun bendungan (dulu Bendungan Ir
Sutami), rumah sakit, sekolah. Disamping itu juga memasok bahan-bahan bangunan
seperti pasir, gamping (kapur), kayu, semen dan sebagainya. Belum lagi toko
bangunan bapak ada di beberapa tempat. Masih tergambar di ingatan masa kecilku.
Hampir setiap Minggu kami pergi ke tempat-tempat rekreasi. Di album foto lama
kutemukan gambar saat kami pergi ke taman rekreasi Sengkaling, Selekta dan
Songgoriti. Tak bisa dihitung bilangan tangan kami makan di restoran. Apalagi
hobi bapak adalah makan enak.
Karena ekonomi
yang berkecukupan, bapak memperkerjakan saudara-saudaranya dari desa untuk
bekerja di rumah kami. Untuk merawat kami setiap dua anak akan dirawat oleh 1
orang pembantu, baby sitterlah. Tukang masak, tukang cuci baju dan
bersih-bersih rumah juga dilakukan oleh saudara-saudara dari desa. Bapak begitu
memanjakan ibuku. Memang kuakui ibuku berparas cantik, itulah sebabnya bapak
sampai tergila-gila pada ibu. Walaupun semua pekerjaan dihendel oleh pembantu,
ibu tak pernah duduk diam. Apalagi jika itu urusan putri-putrinya. Memastikan
asupan kami, baju-baju bersih untuk kami, pun juga pendidikan kami. Untuk
mengajari kami mengaji dan belajar, ibu memanggil guru privat. Kata ibu,
meskipun ibu hanya berpendidikan sampai SD, anak-anaknya harus sarjana semua.
Setiap pagi
sebelum berangkat sekolah ibu memastikan kami membawa buku dan peralatan tulis
yang lengkap. Tak jarang saat pagi ibu membantuku dan adikku merautkan pensil. Mengaji
dan sholat berjamaah di masjid adalah peraturan tidak tertulis yang harus kami
lakukan. Jika satu kali saja kami absen mengaji atau sholat di masjid, ibu akan
mengomeli kami dari a hingga z. Malam hari adalah saat yang menyenangkan bagi
kami. Selesai belajar, kami biasanya berkumpul di kamar ibu. Ibu mengajari kami
permainan-permainan tradisional. Seperti cublak suweng, belu tongtong,
ndog-endogan atau bermain tebak-tebakan. Permainan tradisional yang
menyemarakkan masa kecil kami. Karena dulu siaran di televisi didominasi oleh
berita. Bermain-main bersama saudara menjadi acara yang menyenangkan. Setelah
puas bermain-main, terkadang kami saling bercerita tentang apa saja. Tentang
teman-teman kami, pr yang semakin sulit bahkan cerita pagi tadi saat dihukum
guru. Rutinitas malam ditutup dengan cerita atau mendongeng. Ibuku pandai
bercerita. Maka tak ayal saat ibu bercerita tentang Timun Mas dan Buto Ijo,
malamnya aku bermimpi dikejar-kejar buto ijo lantaran terlalu menghayati
jalannya cerita.
Begitulah masa kecilku begitu
menyenangkan dan berkecukupan. Masih kuingat saat TVRI menayangkan siaran tinju
Muhammad Ali, rumahku penuh dengan orang-orang di kampung yang menontonnya.
Karena pada saat itu rumah kami adalah satu-satunya yang memiliki televisi. Yaa
walaupun hanya televisi hitam putih. Karena saat itu belum ada televisi
berwarna, apalagi televisi flat atau smart tv seperti saat ini.
Kehidupan yang
berkecukupan membuat bapak kurang dekat dengan agama. Bapak hampir tidak pernah
sholat dan puasa. Bapak sering mengadakan pesta tayub, yang didalamnya
disuguhkan penari, minuman keras dan dipenuhi dengan kegiatan berjudi. Tetapi
untuk urusan amal, zakat dan sedekah bapak tidak pernah pelit. Bapak loman
(dermawan) sekali. Sampai-sampai tanah warisan dari mbah kung (kakek)
dibagi-bagikan pada saudara-saudaranya yang kurang mampu. Akan tetapi ibuku tak
pernah putus asa membujuk bapak untuk sholat dan puasa. Ibuku sendiri berasal
dari keluarga yang cukup agamis. Bahkan saat remaja ibu pernah menjadi ketua
fatayat, yaitu perkumpulan keagamaan yang beranggotakan wanita. Akan tetapi
rupanya hidayah belum mampir pada hidup bapakku.
Sampai sentilan
dari Allah merubah hidup kami. Saat Allah menginginkan hambaNya untuk bertobat,
terkadang Allah mengujinya dengan cobaan. Ibaratnya sentilan agar segera
tersadar. Berangsur tapi pasti harta kekayaan bapak diambil kembali oleh Allah.
Berkali-kali bapak tertipu dalam bisnisnya. Hutang yang bertumpuk, memaksa
bapak untuk menjual asetnya satu persatu. Truk yang berjumlah tiga buah,
tinggal satu saja untuk operasional toko. Kendaraan pribadi juga ditukar dengan
kendaraan yang lebih sederhana. Toko bangunan juga terjual, hingga tersisa satu
saja. Kun fayakun, saat Allah berkata maka jadilah. Kehidupan kami diputar 180
derajat. Semua pembantu dengan terpaksa diberhentikan semua, karena tidak ada
lagi sumber keuangan yang mencukupi untuk membiayainya.
Disinilah ibu
mulai menunjukkan ketegarannya. Kesulitan yang bertubi-tubi membuat bapak
frustasi. Akan tetapi ibu hadir sebagai istri yang kuat. Ibu tetap setia
berdiri disamping bapak. Menghibur, memberikan motivasi agar bapak tetap bisa survive
menjalani semua cobaan ini. Semua pekerjaan rumah yang dahulu dikerjakan
oleh pembantu, diambil alih oleh ibu. Tentunya bisa dibayangkan hal itu pasti
sangat sulit dilakukan. Ibu yang dulu menjadi nyonya besar sekarang harus turun
tangan sendiri mengerjakan semua urusan rumah. Beruntung kami lima bersaudara
perempuan semua. Kakak tertuaku sangat tegas dan mandiri. Kakaklah yang
membantu ibu mengatur adik-adiknya. Kakakku membagi tugas pada adik-adiknya
untuk melaksanakan pekerjaan rumah. Dan aku yang saat itu masih duduk dibangku
kelas 6 SD, kebagian menyapu dan mengepel lantai. Kami harus merubah pola hidup
kami. Rekreasi yang biasanya kami lakukan setiap Minggu, bergeser rekreasi jika
ada rezeki lebih. Makan-makan di restoran juga jarang kami lakukan lagi. Jika
biasanya ada tukang durian lewat depan rumah bapak memborong semuanya. Kini
kami harus puas membeli satu dua durian untuk dinikmati satu rumah. Begitulah
roda kehidupan berputar. Kadang diatas dan sewaktu-waktu bisa meluncur terjun
bebas ke bawah.
Hikmah dari
setiap kejadian selalu ada. Siapa sangka dibalik merosotnya kondisi keuangan
keluarga kami, perlahan-lahan bapak mulai belajar agama. Doa dari ibu yang
selalu dilangitkan seusai sholat dijawab oleh Allah. Bapak mulai mengaji,
mendengarkan kajian-kajian, dan rutin melaksanakan sholat di masjid. Hingga
akhirnya tahun 1995 bapak dipanggil untuk kembali kepada Allah. Kondisi kami
semakin terpuruk, Ibu sempat schock mengalami kejadian ini. Akan tetapi demi
melihat lima putrinya ibu mencoba untuk bertahan. Prinsip ibu selama bisa
berdiri dengan kokoh, hidup harus dijalani. Perkara kurang kita minta pada
Allah. “Allah mboten sare nduk,” itulah nasehat ibu yang selalu diberikan pada
kami putri-putrinya. Maka dimulailah babak baru ibu berperan sebagai single
parent.
Untuk urusan
makan sehari-hari, kami mengandalkan toko bangunan. Walaupun barang yang
dijajakan tidaklah lengkap, tapi lumayan bisa untuk sekedar menyambung hidup.
Untuk urusan sekolah, diambil alih oleh kakak tertua. Alhamdulillah kakak sudah
bekerja dan bisa membantu membiayai adik-adiknya. Saat itu yang masih
bersekolah ada dua. Aku duduk di bangku kuliah semester 4 dan adikku duduk
dibangku SMK. Hingga suatu masa, Allah masih ingin menguji kebesaran hati kami.
Toko bangunan tempat kami menggantungkan hidup, disita. Seorang famili dekat
menggunakan suratnya sebagai agunan pinjaman, dan tidak bisa melunasinya
sehingga toko bangunan harus disita. Seakan mendung tebal menggelayuti hidup
kami. Berbagai pertanyaan muncul di kepala kami. Besok kita makan apa?. Aku
bisa melanjutkan kuliah tidak. Kamipun memutar otak untuk bisa terus bertahan hidup.
Dengan berbakal bismillah kami membuka usaha menjual kue-kue basah. Setiap pagi
ibu, aku dan kakakku berjibaku membuat kue-kue basah. Setelah itu aku dan
adikku bertugas menitipkan kue-kue itu di toko-toko sekitar rumah.
Alhamdulillah kehidupan perekonomian kami terbantu.
Dari perjalanan
hidup dan mengalami kesusahan yang bertubi-tubi, ibu tidak pernah menampakkan
kesulitannya kepada kami. Ibu telan pil pahit itu sendirian. Tak jarang saat
sholat malam aku mendengar isak tangis lirih dari ibuku. Ibu menangis dalam
sujud panjangnya. Ibu adalah sosok yang tegar, yang tak pernah putus asa. Ibu
besarkan kami dengan rasa kasih sayangnya. Ibu kuatkan kami menjalani semua
kesulitan hidup. Ibu mengajari kami untuk kuat. Setiap kehidupan adalah ujian,
dan kita harus bisa mengalahkan ujian tersebut dengan cara berusaha, tawakal
dan berdoa. Itu pesan yang selalu ibu sampaikan kepada kami.
Usaha dan jerih
payah dari ibu membuahkan hasil. Kami sekarang bisa hidup secara mandiri. Aku
dan kakakku nomer tiga menjadi guru. Sedangkan kakakku yang lainnya ada yag
menjadi pengusaha kue kering, pegawai kelurahan dan adikku yang terakhir
bekerja di LSM. Pengorbanan ibuku terbayar sudah. Kami sadar kami tak akan
mampu membayar segala peluh dan jerih payah ibu. Tapi setidaknya tugas kami
untuk membahagiakan ibu di sisa usia lanjutnya. Setiap ada kesempatan kami
mengajak ibu untuk berjalan-jalan, rekreasi atau makan-makan diluar. Kami ingin
menebus masa-masa sulit yang dialami ibu dengan senyum kebahagiaan.
Sejak serangan
struk pertama menyerang otak kecilnya, ibu jadi kehilangan gairah untuk
berbicara. Ibu berbicara hanya jika ditanya. Itupun hanya jawaban singkat saja.
Kata dokter serangan struk di otak kecil mengganggu saraf bicara ibu. Setiap
Minggu kami akan berkumpul di rumah ibu. Bercengkrama, dan bersenda gurau.
Cucu-cucu mengelilingi ibu. Ibu sangat meyayangi cucu-cucunya. Kehadiran para
cucu seakan suntikan semangat bagi ibu. Walaupun tak banyak bicara sorotan mata
dan senyum di wajah ibu menyiratkan beribu kata.
Satu hal yang
selalu ibu rutin lakukan adalah pergi kemasjid. Ya ibuku sangat mencintai
masjid. Saking cintanya dengan masjid, ibu jarang mau jika diajak menginap
dirumah anak-anaknya. Alasannya karena jauh dari masjid. Saat hujan deras
adikku yang tinggal serumah dengan ibu, melarang untuk pergi. Karena khawatir
licin atau sakit jika terkena tepias hujan. Tapi tetap saja ibuku akan kekeh
pergi juga.
17 Agustus 2021.
Harusnya tanggal itu menjadi tanggal suka cita bagi rakyat Indonesia. Tapi
tidak bagi kami. Pada tanggal dimana Indonesia merdeka, ibu merdeka juga dari
kehidupan di dunia. Ibu berpulang. Virus Corona telah merenggut satu-satunya
surga kami yang tersisa. Terasa runtuh dunia bagiku. Kemana lagi aku meminta
doa, atau sekedar bersandar untuk sejenak merasakan elusan hangat di kepala.
Tak ada lagi doa-doa yang selalu dilangitkan bagi kami anak-anaknya. Kini kami
hanya bisa menganyam rindu, menata ulang kepingan-kepingan kenangan. Akan
tetapi kami percaya ibu selalu menatap kami dari dimensinya yang berbeda.
Tersenyum melalui hembusan angin, dan tetesan air hujan.
Ibu, kami akan
terus berjuang. Meneladani kisah hidupmu yang penuh dengan perjuangan. Akan
terus kami ceritakan kisah hidupmu pada anak cucu kami, agar mereka dapat
setegar dirimu.
Selamat
menuju keabadian
Teriring
doa selalu
Sebagai
tanda bakti dan rindu
BIONARASI
Penulis Bernama Widya Setianingsih, S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975.Putri dari Bapak Syarif (alm) dan Ibu Martini (alm)
Menjadi guru MI sejak tahun
2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Menjabat sebagai Pimred
majalah sekolah, dan ketua penggiat literasi madrasah. Penulis sangat menyukai
dunia menulis dan dunia mendongeng.
Buku antologi yang sudah
diterbitkan adalah Bukan Guru Biasa, Bahagianya menjadi Guru,Berjuta Cinta dengan Cerita, Sekuntum Puisi, dan Bumi 14 hari. Penulis dapat dihubungi melalui wa
(085954558358), Ig. Widyabisma atau email widyabisma9@gmail.com
Cerita yang sangat bagus bu widia 😊
BalasHapus