Senin, 27 September 2021

Ibu, Sumber Inspirasiku

 

“Tidak apa-apa nduk kamu bisa tetap kuliah,  kita pasti bisa melaluinya”.Ujar ibu sambil menatapku dengan syahdu. Itu kalimat yang ibu ucapkan setelah 7 hari kepergian bapak. Ya bapak berpulang di saat aku masih kuliah semester 4. Kami adalah lima bersaudara. Semuanya anak perempuan. Jika anak laki-laki lima bersaudara dalam istilah jawa disebut Pandawa. Sedangkan sebutan bagi kami lima bersaudara perempuan adalah Pancagati. Jarak umur antara kami terpaut tiga sampai empat tahun untuk setiap anak. Aku adalah anak yang ke-empat, di atasnya ragil.

            Kehidupan kami saat kecil cukup berada. Bapak bekerja sebagai pemborong bangunan. Istilah saat ini tepatnya kontraktor. Bapak bekerjasama dengan berbagai pihak untuk membangun tempat-tempat umum. Misalnya membangun bendungan (dulu Bendungan Ir Sutami), rumah sakit, sekolah. Disamping itu juga memasok bahan-bahan bangunan seperti pasir, gamping (kapur), kayu, semen dan sebagainya. Belum lagi toko bangunan bapak ada di beberapa tempat. Masih tergambar di ingatan masa kecilku. Hampir setiap Minggu kami pergi ke tempat-tempat rekreasi. Di album foto lama kutemukan gambar saat kami pergi ke taman rekreasi Sengkaling, Selekta dan Songgoriti. Tak bisa dihitung bilangan tangan kami makan di restoran. Apalagi hobi bapak adalah makan enak.

Karena ekonomi yang berkecukupan, bapak memperkerjakan saudara-saudaranya dari desa untuk bekerja di rumah kami. Untuk merawat kami setiap dua anak akan dirawat oleh 1 orang pembantu, baby sitterlah. Tukang masak, tukang cuci baju dan bersih-bersih rumah juga dilakukan oleh saudara-saudara dari desa. Bapak begitu memanjakan ibuku. Memang kuakui ibuku berparas cantik, itulah sebabnya bapak sampai tergila-gila pada ibu. Walaupun semua pekerjaan dihendel oleh pembantu, ibu tak pernah duduk diam. Apalagi jika itu urusan putri-putrinya. Memastikan asupan kami, baju-baju bersih untuk kami, pun juga pendidikan kami. Untuk mengajari kami mengaji dan belajar, ibu memanggil guru privat. Kata ibu, meskipun ibu hanya berpendidikan sampai SD, anak-anaknya harus sarjana semua.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah ibu memastikan kami membawa buku dan peralatan tulis yang lengkap. Tak jarang saat pagi ibu membantuku dan adikku merautkan pensil. Mengaji dan sholat berjamaah di masjid adalah peraturan tidak tertulis yang harus kami lakukan. Jika satu kali saja kami absen mengaji atau sholat di masjid, ibu akan mengomeli kami dari a hingga z. Malam hari adalah saat yang menyenangkan bagi kami. Selesai belajar, kami biasanya berkumpul di kamar ibu. Ibu mengajari kami permainan-permainan tradisional. Seperti cublak suweng, belu tongtong, ndog-endogan atau bermain tebak-tebakan. Permainan tradisional yang menyemarakkan masa kecil kami. Karena dulu siaran di televisi didominasi oleh berita. Bermain-main bersama saudara menjadi acara yang menyenangkan. Setelah puas bermain-main, terkadang kami saling bercerita tentang apa saja. Tentang teman-teman kami, pr yang semakin sulit bahkan cerita pagi tadi saat dihukum guru. Rutinitas malam ditutup dengan cerita atau mendongeng. Ibuku pandai bercerita. Maka tak ayal saat ibu bercerita tentang Timun Mas dan Buto Ijo, malamnya aku bermimpi dikejar-kejar buto ijo lantaran terlalu menghayati jalannya cerita.

            Begitulah masa kecilku begitu menyenangkan dan berkecukupan. Masih kuingat saat TVRI menayangkan siaran tinju Muhammad Ali, rumahku penuh dengan orang-orang di kampung yang menontonnya. Karena pada saat itu rumah kami adalah satu-satunya yang memiliki televisi. Yaa walaupun hanya televisi hitam putih. Karena saat itu belum ada televisi berwarna, apalagi televisi flat atau smart tv seperti saat ini.

Kehidupan yang berkecukupan membuat bapak kurang dekat dengan agama. Bapak hampir tidak pernah sholat dan puasa. Bapak sering mengadakan pesta tayub, yang didalamnya disuguhkan penari, minuman keras dan dipenuhi dengan kegiatan berjudi. Tetapi untuk urusan amal, zakat dan sedekah bapak tidak pernah pelit. Bapak loman (dermawan) sekali. Sampai-sampai tanah warisan dari mbah kung (kakek) dibagi-bagikan pada saudara-saudaranya yang kurang mampu. Akan tetapi ibuku tak pernah putus asa membujuk bapak untuk sholat dan puasa. Ibuku sendiri berasal dari keluarga yang cukup agamis. Bahkan saat remaja ibu pernah menjadi ketua fatayat, yaitu perkumpulan keagamaan yang beranggotakan wanita. Akan tetapi rupanya hidayah belum mampir pada hidup bapakku.

Sampai sentilan dari Allah merubah hidup kami. Saat Allah menginginkan hambaNya untuk bertobat, terkadang Allah mengujinya dengan cobaan. Ibaratnya sentilan agar segera tersadar. Berangsur tapi pasti harta kekayaan bapak diambil kembali oleh Allah. Berkali-kali bapak tertipu dalam bisnisnya. Hutang yang bertumpuk, memaksa bapak untuk menjual asetnya satu persatu. Truk yang berjumlah tiga buah, tinggal satu saja untuk operasional toko. Kendaraan pribadi juga ditukar dengan kendaraan yang lebih sederhana. Toko bangunan juga terjual, hingga tersisa satu saja. Kun fayakun, saat Allah berkata maka jadilah. Kehidupan kami diputar 180 derajat. Semua pembantu dengan terpaksa diberhentikan semua, karena tidak ada lagi sumber keuangan yang mencukupi untuk membiayainya.

Disinilah ibu mulai menunjukkan ketegarannya. Kesulitan yang bertubi-tubi membuat bapak frustasi. Akan tetapi ibu hadir sebagai istri yang kuat. Ibu tetap setia berdiri disamping bapak. Menghibur, memberikan motivasi agar bapak tetap bisa survive menjalani semua cobaan ini. Semua pekerjaan rumah yang dahulu dikerjakan oleh pembantu, diambil alih oleh ibu. Tentunya bisa dibayangkan hal itu pasti sangat sulit dilakukan. Ibu yang dulu menjadi nyonya besar sekarang harus turun tangan sendiri mengerjakan semua urusan rumah. Beruntung kami lima bersaudara perempuan semua. Kakak tertuaku sangat tegas dan mandiri. Kakaklah yang membantu ibu mengatur adik-adiknya. Kakakku membagi tugas pada adik-adiknya untuk melaksanakan pekerjaan rumah. Dan aku yang saat itu masih duduk dibangku kelas 6 SD, kebagian menyapu dan mengepel lantai. Kami harus merubah pola hidup kami. Rekreasi yang biasanya kami lakukan setiap Minggu, bergeser rekreasi jika ada rezeki lebih. Makan-makan di restoran juga jarang kami lakukan lagi. Jika biasanya ada tukang durian lewat depan rumah bapak memborong semuanya. Kini kami harus puas membeli satu dua durian untuk dinikmati satu rumah. Begitulah roda kehidupan berputar. Kadang diatas dan sewaktu-waktu bisa meluncur terjun bebas ke bawah.

Hikmah dari setiap kejadian selalu ada. Siapa sangka dibalik merosotnya kondisi keuangan keluarga kami, perlahan-lahan bapak mulai belajar agama. Doa dari ibu yang selalu dilangitkan seusai sholat dijawab oleh Allah. Bapak mulai mengaji, mendengarkan kajian-kajian, dan rutin melaksanakan sholat di masjid. Hingga akhirnya tahun 1995 bapak dipanggil untuk kembali kepada Allah. Kondisi kami semakin terpuruk, Ibu sempat schock mengalami kejadian ini. Akan tetapi demi melihat lima putrinya ibu mencoba untuk bertahan. Prinsip ibu selama bisa berdiri dengan kokoh, hidup harus dijalani. Perkara kurang kita minta pada Allah. “Allah mboten sare nduk,” itulah nasehat ibu yang selalu diberikan pada kami putri-putrinya. Maka dimulailah babak baru ibu berperan sebagai single parent.

Untuk urusan makan sehari-hari, kami mengandalkan toko bangunan. Walaupun barang yang dijajakan tidaklah lengkap, tapi lumayan bisa untuk sekedar menyambung hidup. Untuk urusan sekolah, diambil alih oleh kakak tertua. Alhamdulillah kakak sudah bekerja dan bisa membantu membiayai adik-adiknya. Saat itu yang masih bersekolah ada dua. Aku duduk di bangku kuliah semester 4 dan adikku duduk dibangku SMK. Hingga suatu masa, Allah masih ingin menguji kebesaran hati kami. Toko bangunan tempat kami menggantungkan hidup, disita. Seorang famili dekat menggunakan suratnya sebagai agunan pinjaman, dan tidak bisa melunasinya sehingga toko bangunan harus disita. Seakan mendung tebal menggelayuti hidup kami. Berbagai pertanyaan muncul di kepala kami. Besok kita makan apa?. Aku bisa melanjutkan kuliah tidak. Kamipun memutar otak untuk bisa terus bertahan hidup. Dengan berbakal bismillah kami membuka usaha menjual kue-kue basah. Setiap pagi ibu, aku dan kakakku berjibaku membuat kue-kue basah. Setelah itu aku dan adikku bertugas menitipkan kue-kue itu di toko-toko sekitar rumah. Alhamdulillah kehidupan perekonomian kami terbantu.

Dari perjalanan hidup dan mengalami kesusahan yang bertubi-tubi, ibu tidak pernah menampakkan kesulitannya kepada kami. Ibu telan pil pahit itu sendirian. Tak jarang saat sholat malam aku mendengar isak tangis lirih dari ibuku. Ibu menangis dalam sujud panjangnya. Ibu adalah sosok yang tegar, yang tak pernah putus asa. Ibu besarkan kami dengan rasa kasih sayangnya. Ibu kuatkan kami menjalani semua kesulitan hidup. Ibu mengajari kami untuk kuat. Setiap kehidupan adalah ujian, dan kita harus bisa mengalahkan ujian tersebut dengan cara berusaha, tawakal dan berdoa. Itu pesan yang selalu ibu sampaikan kepada kami.

Usaha dan jerih payah dari ibu membuahkan hasil. Kami sekarang bisa hidup secara mandiri. Aku dan kakakku nomer tiga menjadi guru. Sedangkan kakakku yang lainnya ada yag menjadi pengusaha kue kering, pegawai kelurahan dan adikku yang terakhir bekerja di LSM. Pengorbanan ibuku terbayar sudah. Kami sadar kami tak akan mampu membayar segala peluh dan jerih payah ibu. Tapi setidaknya tugas kami untuk membahagiakan ibu di sisa usia lanjutnya. Setiap ada kesempatan kami mengajak ibu untuk berjalan-jalan, rekreasi atau makan-makan diluar. Kami ingin menebus masa-masa sulit yang dialami ibu dengan senyum kebahagiaan.


 

 



Sejak serangan struk pertama menyerang otak kecilnya, ibu jadi kehilangan gairah untuk berbicara. Ibu berbicara hanya jika ditanya. Itupun hanya jawaban singkat saja. Kata dokter serangan struk di otak kecil mengganggu saraf bicara ibu. Setiap Minggu kami akan berkumpul di rumah ibu. Bercengkrama, dan bersenda gurau. Cucu-cucu mengelilingi ibu. Ibu sangat meyayangi cucu-cucunya. Kehadiran para cucu seakan suntikan semangat bagi ibu. Walaupun tak banyak bicara sorotan mata dan senyum di wajah ibu menyiratkan beribu kata.

 



Satu hal yang selalu ibu rutin lakukan adalah pergi kemasjid. Ya ibuku sangat mencintai masjid. Saking cintanya dengan masjid, ibu jarang mau jika diajak menginap dirumah anak-anaknya. Alasannya karena jauh dari masjid. Saat hujan deras adikku yang tinggal serumah dengan ibu, melarang untuk pergi. Karena khawatir licin atau sakit jika terkena tepias hujan. Tapi tetap saja ibuku akan kekeh pergi juga.

17 Agustus 2021. Harusnya tanggal itu menjadi tanggal suka cita bagi rakyat Indonesia. Tapi tidak bagi kami. Pada tanggal dimana Indonesia merdeka, ibu merdeka juga dari kehidupan di dunia. Ibu berpulang. Virus Corona telah merenggut satu-satunya surga kami yang tersisa. Terasa runtuh dunia bagiku. Kemana lagi aku meminta doa, atau sekedar bersandar untuk sejenak merasakan elusan hangat di kepala. Tak ada lagi doa-doa yang selalu dilangitkan bagi kami anak-anaknya. Kini kami hanya bisa menganyam rindu, menata ulang kepingan-kepingan kenangan. Akan tetapi kami percaya ibu selalu menatap kami dari dimensinya yang berbeda. Tersenyum melalui hembusan angin, dan tetesan air hujan.

Ibu, kami akan terus berjuang. Meneladani kisah hidupmu yang penuh dengan perjuangan. Akan terus kami ceritakan kisah hidupmu pada anak cucu kami, agar mereka dapat setegar dirimu.

 

 


                                                         Selamat jalan surgaku

Selamat menuju keabadian

Teriring doa selalu

Sebagai tanda bakti dan rindu

 

 

 



BIONARASI
Penulis Bernama Widya Setianingsih, S.Ag, lahir di kota Malang 29 September 1975.Putri dari Bapak Syarif (alm) dan Ibu Martini (alm)

Menjadi guru MI sejak tahun 2000, dan saat ini mengajar di MI Khadijah Malang. Menjabat sebagai Pimred majalah sekolah, dan ketua penggiat literasi madrasah. Penulis sangat menyukai dunia menulis dan dunia mendongeng.

Buku antologi yang sudah diterbitkan adalah Bukan Guru Biasa, Bahagianya menjadi Guru,Berjuta Cinta dengan Cerita, Sekuntum Puisi, dan Bumi 14 hari.  Penulis dapat dihubungi melalui wa (085954558358), Ig. Widyabisma atau email widyabisma9@gmail.com

 

 

 

 

1 komentar:

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...