Rabu, 04 Januari 2023

 


"What is a friend? A single soul dwelling in two bodies." Aristotle

Apa itu sahabat? Satu jiwa yang tinggal dalam dua tubuh.

 

Ikatan persahabatan sejatinya berkaitan dengan emosi dan psikologis yang dalam dari dua orang atau lebih. Di mana bahan bakarnya adalah kesetiaaan, kekariban dan kasih sayang. Layaknya makhluk sosial yang memerlukan individu  lain untuk melengkapi jalan hidupnya. Dan jika ada orang yang tak bisa hidup tanpa sahabat, itu adalah SAYA.

Sangat menyenangkan dikelilingi teman-teman yang baik dalam hidup. Akan tetapi hidup lebih berwarna jika memiliki sahabat. Seseorang yang kita panggil ‘RUMAH. Tempat kita berbagi kisah, berkeluh kesah, berbagi tawa dan tangis atau bersama mentertawakan kerasnya hidup.

Dalam kisah kali ini saya tidak hanya bercerita tentang satu sahabat, tapi saya akan bercerita tentang tiga sahabat saya. (sstttt karena ketiga-tiganya bergabung di antologi yang sama, bisa geger negara api jika hanya menulis salah satunya wkwkwkwk)

Yang pertama, seseorang yang kupanggil ‘rumah’ adalah Chaula Handayani. Ikatan persahabatan kami terjalin cukup lama hampir 17 tahun. Ada sebuah ungkapan bahwa seseorang akan berkumpul dengan golongannya yang sekufu. It’s alright. Ibarat peribahasa Jawa kaya mimi lan mintuna. Hubungan dua orang yang erat, dan sepadan. Ya itulah kami. Pemikiran, ide, hobi, kegemaran bahkan level “kegilaan” kami sama. Bonding yang terjalin begitu kuat. Feeling yang tercipta ter senada. Apalagi kami sama-sama menjadi team teaching. Partner dan rekan kerja di kelas satu.

Selama 10 tahun kami membangun mimpi berdua, memiliki dunia kecil di mana hanya ada aku dan dia. Bersamanya terpenuhi segala rasa, tercukupi segala pinta. Apa yang kupikirkan belum tersampaikan dia sudah merasa. Saat hatinya gulana, mulut belum terucap aku sudah mengetahuinya. Kami tak butuh siapapun jua. Its enough for me and her. Waktu Minggu yang menjadi penanda satu pekan seringkali kami salahkan. Karena menjadi jeda bagi kami untuk tak bersua. Hanya satu hari berselang, tapi cerita yang ingin  kami rajut berdua begitu sesak membuncah. Ahh kami seringkali tak sabar untuk segera berjumpa.

Satu kebiasaan yang acap kami lakukan berdua adalah jalan-jalan. Biasanya dalam satu Minggu selalu ada waktu untuk kami berdua merefresh segala penat. Entah itu jalan ke mall, makan di restoran atau sekedar jalan-jalan di taman Kota Malang, Sambil hang out berdua ada saja cerita lucu yang membuat suasana riuh dengan tawa. Jika kalian bertanya apa ndak bosan selalu berdua? No… tidak. Karena setiap hari selalu tersaji menu dalam warna yang berbeda. Kadang hijau, biru, hitam atau merah muda. Bagaimana kami merasa bosan jika kebersamaan kami layaknya udara yang kami hirup? Kami sesak napas tanpanya. Merasa lelah tanpa rumah tempat berdermaga, dan tak bisa terbang jauh dengan sayap yang patah. Persahabatan kami solid. Saling menguatkan, mengukuhkan dan melengkapi. Aku adalah seseorang yang merasakan berlipat sakit saat sahabatku terluka. Aku adalah seseorang yang merasakan berlipat sedih saat sahabatku nelangsa. Itulah gambaranku yang mencintai sahabatnya begitu dalam.

 Hingga Allah bekehendak lain, kami terpisahkan oleh suatu peristiwa. Rupanya Allah ‘cemburu’ dengan cinta kami berdua. Cinta yang terlalu. Allah hanya ingin ciptaanNya lebih mencintaiNya di bandingkan mencintai makhluk lainnya. Di usia pertemanan kami yang ke 10 Allah menguji kami berdua. Chaula adalah sosok yang erat memegang teguh prinsipnya. Apalagi jika itu berkaitan dengan harga diri. Sebuah peristiwa terjadi di sekolah kami hingga menyentil harga diri dan mengusik prinsip hidupnya. Kekokohan hatinya saat itu setegar karang. Segala bujuk, rayu hingga ancaman dariku tak membuatnya bergeming. Ia memutuskan keluar dengan meninggalkan sekeping hati yang patah. Akhirnya diusia persahabatan kami ke 10 dia pergi meninggalkanku. Kami sama-sama nelangsa karena tlah kehilangan rumah.

Runtuhlah duniaku sejak saat itu. Hari-hari yang suram terus menaungiku. Ku ingin berteriak pada dunia, aku jatuh tanpamu. Tapi seolah dunia menutup mata dan telinga atas protes kami berdua. Selang tiga-empat bulan kami baru bisa move on menerima segala suratan cerita. LDR kami lalui. Sebagai gantinya pesan whatsApp menjadi pengganti diri. Dalam satu bulan kami sisihkan satu hari untuk bersama-sama. Me time. Menghapus jutaan rindu dan mengalirkan kisah yang terbendung bagai aliran air tersumbat yang membuncah.

Kini persahabatan kami telah memasuki angka 17, ternyata jarak tak menghalangi rajutan rasa sayang kami berdua. Insyaallah kami akan tetap bergandengan tangan menua bersama.

                                                            -----000-----

Engkau seperti pagi, berpijar bak mentari yang mengepakkan sayap semangat

Kau adalah mentari yang selalu datang dengan 'selamat pagi' yang mengingatku

 saat kesedihan datang

Dan tetap tinggal saat senyumku kembali terang.

 

Mungkin di antara pembaca ada yang mengenali gaya bahasa pada diksi di atas. Diksi yang levelnya jauh di atasku. Deretan kata apik yang membuatku jatuh cinta pada penulisnya. Ya jatuh cinta. Jika biasanya cinta datang dari mata, maka kali ini cinta datang dari rasa. Betul rasa keindahan.

 

Awalnya hubungan kami hanya sebatas peserta dan narasumber. Tempatku bertanya, diskusi dan sharing. Aku adalah seseorang yang memulai hubungan dengan mengandalkan intuisi. Saat feelingku merasa ‘klik’ maka aku akan melangkah. Berdiskusi dengannya aku merasa nyaman, dan enjoy. Aku memberanikan diri mendekatinya. Seringkali aku repotin dia dengan pertanyaan seputar menulis. Walaupun itu hanya alibi untuk lebih mendekat padanya.

 

Ibaratnya putaran waktu, semakin aku berlari semakin menjauh. Semakin ku mendekat kian menghindar. Sikap dinginnya acapkali mencipta gigilku. Kesombongannya membuatku semakin kukuhkan hatiku. Aku pasti bisa membuatnya membuka diri untuk singgah di hatinya. Mengalir saja rasa sayangku hadir untuknya.  Entah karena sang waktu yang lelah berlari, atau hati yang mendingin itu mencair. Akhirnya perlahan ia membuka pintu hatinya untukku.

 

Butuh usaha untuk menaklukan hati batu itu. Hati yang dia bentengi dengan karang hanya untuk membatasi kisahnya dari dunia luar. Saat bersamanya aku menjadi kakak yang  siaga melindungi adiknya. Menjadi sandaran bagi rasa gelisah dan sukanya. Aku siapkan diriku untuk menjadi rumah baginya saat dia ingin pulang.

 

Hubungan persahabatan itu seperti halnya pacaran, Kadang tenang dan acapkali bergejolak bak air pasang. Itu yang sering kami alami. Kuakui merawat hubungan persahabatan LDR itu jauh lebih melelahkan ketimbang bersahabat di dunia nyata. Acapkali kesalahpahaman mewarnai kisah kami berdua. Perbedaan bahasa, latar belakang budaya turut andil di dalamnya.

 

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri. Deretan bulan dan tahun bukan jaminan bagi persahabatan untuk lepas dari perselisihan. Tidak peduli besar atau kecil permasalahannya. Berselisih dengan sahabat seringkali membuat kita merasa serba salah. Itu yang selalu sama-sama kami rasakan saat aura seteru melingkupi.

 

Sebab masalah hanya sepele, PERKATAAN. Yup terkadang salah memahami kalimat. Salah dalam penyampaian, meruncing pada salah paham yang menaikkan level emosi. Intinya kami sama-sama batu. Orang yang keras kepala dan enggan mengalah. Tapi semua itu tak pernah berlangsung lama. Cukup dua hari saja. Satu hari untuk instropeksi, dan satu hari untuk saling menyampaikan keluh kesah. Dan kelarlah masalah hanya dalam dua hari.

 

Terkadang konflik bisa menjadi tolok ukur persahabatan. Apakah engkau hanya teman biasa ataukah benar-benar seorang sahabat sejati. Konon semakin banyak berantem dan kamu memilih tetap bertahan satu sama lain. |Itu artinya kalian adalah sahabat sejati. But, jangan dicoba berseteru yaa, rasanya benar-benar tidak enak.

 

Kini usia persahabatan kami memasuki tahun kedua. Anehnya setiap kali berselisih seolah menambah takaran cinta dan sayang kami satu sama lain. Insyaallah kami semakin memahami satu sama lain. Mencoba bertahan walau dalam hubungan yang sebatas pesan dan emoticon.

 

Kalian masih penasaran siapakah sahabat onlineku? Yaa dialah Maydearly the Queen of diction. Si Jaim yang lembut hatinya.

 

-----000-----

 

Dewasa, renyah dan humble. Siapa yang tak ingin bersahabat dengan sosok yang demikian. Dia yang selalu mendukungku.  Ringan tangan, dan selalu siap membantu. Selalu bersedia menjadikan dirinya ‘rumah’ bagi setiap kisah warna-warniku.

Kami bergabung dalam kelas menulis yang sama. Yaitu di gelombang 21. Saat itu kami sama-sama menjadi panitia closing. Sering diskusi dan zoom bareng. Belum ada sinyal untuk bersahabat. Just friend saja. Kemudian dia mengulang di gelombang 24. Saat itu secara tak sengaja kami lebih intens berkomunikasi dan berdiskusi.

Semakin ke sini banyak kecocokan tercipta di antara kami berdua. Betul kiranya ungkapan sahabat adalah satu jiwa dalam dua raga. Dua raga yang berbeda tapi seolah sama. Langkah kami senada dalam rasa yang seirama. Mengalir saja. Tergelak dalam canda, empati saat berduka dan tertawa jumawa dalam derai perayaan. Ringan tanpa beban. Saling membully dan mencandai. Tak ada rasa emosi yang menjadi. Karena kami sama-sama tahu, hati kami hanya ingin sekedar menghibur diri.  Kami sadar di antara kami banyak perbedaan. Jika ada dua sisi sungai, selalu  ada jembatan untuk menghubungkan. Jembatan kami adalah rasa kasih sayang. Alangkah serunya menerima segala perbedaan untuk bersama melukis satu keindahan.

Apa karena usia tak jauh beda  menjadikan kami selangkah? Maybe yes or no. Saat ini kami hanya merasa nyaman saat bersama. Kokoh saat merajut asa. Cukup sudah menjadi alasan  kuat bagi kami untuk tetap berjalan bersama. Bersamanya aku berani melukis warnaku apa adanya. Tanpa pencitraan dan tendensi aneka rupa. It’s me ucapku. Inilah wajahku tanpa topeng sempurna. Semakin dekat dengan seseorang akan tampak siapa aku adanya. Aku akan menampakkan sisiku yang berbeda. Sisi yang terkadang tertutupi oleh tuntutan  zona nyaman. Warnaku biru bukan putih abu-abu. Hebatnya Tazah mau menerimaku tanpa penawaran.

Jangan mengharap orang lain melewati samudra, jika kau sendiri tak mau melewati genangan air untuknya. Kami siapkan ruang hati untuk tempat berbagi. Merelakan sebagian waktu untuk berkomunikasi. Walau itu hanya sepatah kata dan emoticon sebagai wujud kami saling peduli.

Tazah Emut kepadamu kutitipkan sekeping rasa cinta untuk kita jaga bersama.

 

-----000-----

Saat hati mulai terketuk dengan uluran kasih sayang, segera bukalah pintu hatimu. Jarak, ruang dan perbedaan bukan menjadi alasan untuk menghindar. Karena Allah tak membutuhkan alasan saat menitipkan sepotong rasa cinta pada hambaNya. Tergantung pada kita. Membunuh bibit cinta itu sebelum berkembang, ataukah merawatnya hingga bertunas dan bercabang. Hingga kelak dahannya yang rindang memberi rasa teduh untuk bersandar.

Jika ingin mendapatkan sahabat yang baik, tanyakan pada dirimu. Sudahkah engkau menjadi sahabat yang baik pula. Jika memiliki seorang sahabat genggam erat dia, jaga dan rawatlah dengan sepenuh cinta. Karena melepaskan itu lebih mudah daripada mendapatkannya.

 

"I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light" Helen Keller

Aku lebih suka berjalan dengan seorang teman dalam gelap, daripada sendirian dalam terang

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peserta Selundupan yang Beruntung

Dering ponsel membuat jeda aktivitasku. Sebuah suara lembut menyapa syandu. “Halo sayang, bunda akan berkunjung ke Malang, bisakah kita bert...