"What
is a friend? A single soul dwelling in two bodies." Aristotle
Apa itu sahabat? Satu jiwa yang tinggal dalam dua tubuh.
Ikatan persahabatan sejatinya berkaitan dengan emosi dan
psikologis yang dalam dari dua orang atau lebih. Di mana bahan bakarnya adalah
kesetiaaan, kekariban dan kasih sayang. Layaknya makhluk sosial yang memerlukan
individu lain untuk melengkapi jalan
hidupnya. Dan jika ada orang yang tak bisa hidup tanpa sahabat, itu
adalah SAYA.
Sangat menyenangkan dikelilingi teman-teman yang baik
dalam hidup. Akan tetapi hidup lebih berwarna jika memiliki sahabat. Seseorang
yang kita panggil ‘RUMAH. Tempat kita berbagi kisah, berkeluh kesah, berbagi tawa dan tangis atau bersama
mentertawakan kerasnya hidup.
Dalam kisah kali ini saya tidak hanya bercerita tentang
satu sahabat, tapi saya akan bercerita tentang tiga sahabat saya. (sstttt karena ketiga-tiganya bergabung di
antologi yang sama, bisa geger negara api jika hanya menulis salah satunya
wkwkwkwk)
Yang pertama, seseorang yang kupanggil ‘rumah’ adalah
Chaula Handayani. Ikatan persahabatan kami terjalin cukup lama hampir 17 tahun.
Ada sebuah ungkapan bahwa seseorang akan berkumpul dengan golongannya yang sekufu. It’s alright. Ibarat peribahasa Jawa kaya mimi lan mintuna. Hubungan dua
orang yang erat, dan sepadan. Ya itulah kami. Pemikiran, ide, hobi, kegemaran
bahkan level “kegilaan” kami sama. Bonding
yang terjalin begitu kuat. Feeling yang tercipta ter senada. Apalagi kami sama-sama menjadi team teaching.
Partner dan rekan kerja di kelas satu.
Selama 10 tahun kami membangun mimpi berdua, memiliki
dunia kecil di mana hanya ada aku dan dia. Bersamanya terpenuhi segala rasa,
tercukupi segala pinta. Apa yang kupikirkan belum tersampaikan dia sudah
merasa. Saat hatinya gulana, mulut belum terucap aku sudah mengetahuinya. Kami
tak butuh siapapun jua. Its enough for me and
her. Waktu Minggu yang
menjadi penanda satu pekan seringkali kami salahkan. Karena menjadi jeda bagi
kami untuk tak bersua. Hanya satu hari berselang, tapi cerita yang ingin kami rajut berdua begitu sesak membuncah. Ahh kami seringkali tak sabar untuk segera berjumpa.
Satu kebiasaan yang acap kami lakukan berdua adalah
jalan-jalan. Biasanya dalam satu Minggu selalu ada waktu untuk kami berdua
merefresh segala penat. Entah itu jalan ke mall, makan di restoran atau sekedar
jalan-jalan di taman Kota Malang, Sambil hang
out berdua ada saja cerita lucu yang membuat suasana riuh dengan tawa. Jika
kalian bertanya apa ndak bosan selalu
berdua? No… tidak. Karena setiap hari selalu tersaji menu dalam warna yang
berbeda. Kadang hijau, biru, hitam atau merah muda. Bagaimana kami merasa bosan
jika kebersamaan kami layaknya udara yang kami hirup? Kami sesak napas
tanpanya. Merasa lelah tanpa rumah tempat berdermaga, dan tak bisa terbang
jauh dengan sayap yang patah. Persahabatan kami solid. Saling menguatkan,
mengukuhkan dan melengkapi. Aku adalah seseorang yang merasakan berlipat sakit
saat sahabatku terluka. Aku adalah seseorang yang merasakan berlipat sedih saat
sahabatku nelangsa. Itulah gambaranku yang mencintai sahabatnya begitu dalam.
Hingga Allah bekehendak
lain, kami terpisahkan oleh suatu peristiwa. Rupanya Allah ‘cemburu’ dengan
cinta kami berdua. Cinta yang terlalu. Allah hanya ingin ciptaanNya lebih mencintaiNya di bandingkan mencintai makhluk
lainnya. Di usia pertemanan kami yang ke 10 Allah menguji kami berdua. Chaula
adalah sosok yang erat memegang teguh prinsipnya. Apalagi jika itu berkaitan
dengan harga diri. Sebuah peristiwa terjadi di sekolah kami hingga menyentil
harga diri dan mengusik prinsip hidupnya. Kekokohan hatinya saat itu setegar
karang. Segala bujuk, rayu hingga ancaman dariku tak membuatnya bergeming. Ia
memutuskan keluar dengan meninggalkan sekeping hati yang patah. Akhirnya diusia
persahabatan kami ke 10 dia pergi meninggalkanku. Kami sama-sama nelangsa karena
tlah kehilangan rumah.
Runtuhlah duniaku sejak saat itu. Hari-hari yang suram
terus menaungiku. Ku ingin berteriak pada dunia, aku jatuh tanpamu. Tapi seolah
dunia menutup mata dan telinga atas protes kami berdua. Selang tiga-empat bulan
kami baru bisa move on menerima segala suratan cerita. LDR kami lalui. Sebagai
gantinya pesan whatsApp menjadi pengganti
diri. Dalam satu bulan kami sisihkan
satu hari untuk bersama-sama. Me time.
Menghapus jutaan rindu dan mengalirkan kisah yang terbendung bagai aliran air tersumbat
yang membuncah.
Kini persahabatan kami telah memasuki angka 17, ternyata
jarak tak menghalangi rajutan rasa sayang kami berdua. Insyaallah kami akan
tetap bergandengan tangan menua bersama.
-----000-----
Engkau seperti pagi, berpijar bak mentari yang mengepakkan sayap
semangat
Kau adalah mentari yang selalu datang dengan 'selamat pagi' yang
mengingatku
saat kesedihan datang
Dan tetap tinggal saat senyumku kembali terang.
Mungkin di antara pembaca ada yang mengenali gaya bahasa pada diksi di atas. Diksi yang levelnya
jauh di atasku. Deretan kata apik
yang membuatku jatuh cinta pada penulisnya. Ya jatuh cinta. Jika biasanya cinta
datang dari mata, maka kali ini cinta datang dari rasa. Betul rasa keindahan.
Awalnya hubungan kami hanya
sebatas peserta dan narasumber. Tempatku bertanya, diskusi dan sharing. Aku
adalah seseorang yang memulai hubungan dengan mengandalkan intuisi. Saat
feelingku merasa ‘klik’ maka aku akan
melangkah. Berdiskusi
dengannya aku merasa nyaman, dan enjoy. Aku memberanikan diri mendekatinya. Seringkali aku repotin dia
dengan pertanyaan seputar menulis. Walaupun itu hanya alibi untuk lebih mendekat padanya.
Ibaratnya putaran waktu,
semakin aku berlari semakin menjauh. Semakin ku mendekat kian menghindar. Sikap dinginnya acapkali mencipta gigilku. Kesombongannya
membuatku semakin kukuhkan hatiku. Aku pasti bisa membuatnya membuka
diri untuk singgah di hatinya. Mengalir
saja rasa sayangku hadir untuknya. Entah karena sang waktu yang lelah berlari,
atau hati yang mendingin itu mencair. Akhirnya perlahan ia membuka pintu hatinya untukku.
Butuh usaha untuk menaklukan
hati batu itu. Hati yang dia bentengi dengan karang hanya untuk membatasi
kisahnya dari dunia luar. Saat bersamanya aku menjadi kakak yang siaga melindungi adiknya. Menjadi sandaran bagi rasa gelisah dan sukanya. Aku
siapkan diriku untuk menjadi rumah baginya saat dia ingin pulang.
Hubungan persahabatan itu seperti
halnya pacaran, Kadang tenang dan acapkali bergejolak bak air pasang. Itu yang
sering kami alami. Kuakui merawat hubungan persahabatan LDR itu jauh lebih
melelahkan ketimbang bersahabat di dunia nyata. Acapkali kesalahpahaman
mewarnai kisah kami berdua. Perbedaan bahasa, latar belakang budaya turut andil
di dalamnya.
Satu hal yang tidak bisa
dipungkiri. Deretan bulan dan tahun bukan jaminan bagi persahabatan untuk lepas
dari perselisihan. Tidak peduli besar atau kecil permasalahannya. Berselisih dengan
sahabat seringkali membuat kita merasa serba salah. Itu yang selalu sama-sama
kami rasakan saat aura seteru melingkupi.
Sebab masalah hanya sepele,
PERKATAAN. Yup terkadang salah memahami kalimat. Salah dalam penyampaian, meruncing pada salah paham yang menaikkan level
emosi. Intinya kami sama-sama batu. Orang yang keras kepala dan enggan
mengalah. Tapi semua itu tak pernah berlangsung lama. Cukup dua hari saja. Satu hari untuk instropeksi,
dan satu hari untuk saling menyampaikan keluh kesah. Dan kelarlah masalah hanya
dalam dua hari.
Terkadang konflik bisa menjadi
tolok ukur persahabatan. Apakah engkau hanya teman biasa ataukah benar-benar
seorang sahabat sejati. Konon semakin banyak berantem dan kamu memilih tetap bertahan
satu sama lain. |Itu artinya kalian adalah sahabat sejati. But, jangan dicoba
berseteru yaa, rasanya benar-benar tidak enak.
Kini usia persahabatan kami memasuki tahun kedua. Anehnya
setiap kali berselisih seolah menambah takaran cinta dan sayang kami satu sama
lain. Insyaallah kami semakin memahami satu sama lain. Mencoba bertahan walau dalam hubungan yang sebatas pesan dan emoticon.
Kalian masih penasaran
siapakah sahabat onlineku? Yaa dialah Maydearly
the Queen of diction. Si Jaim
yang lembut hatinya.
-----000-----
Dewasa, renyah dan humble. Siapa yang tak ingin
bersahabat dengan sosok yang demikian. Dia yang selalu mendukungku. Ringan tangan, dan selalu siap membantu. Selalu bersedia menjadikan
dirinya ‘rumah’ bagi setiap kisah warna-warniku.
Kami bergabung dalam kelas menulis yang sama. Yaitu di gelombang
21. Saat itu kami sama-sama menjadi panitia closing. Sering diskusi dan zoom bareng. Belum
ada sinyal untuk bersahabat. Just friend saja. Kemudian dia mengulang di
gelombang 24. Saat itu secara tak sengaja kami lebih intens berkomunikasi dan berdiskusi.
Semakin ke sini banyak kecocokan tercipta di antara kami
berdua. Betul kiranya ungkapan sahabat adalah
satu jiwa dalam dua raga. Dua
raga yang berbeda tapi seolah sama. Langkah kami senada dalam rasa yang seirama. Mengalir saja. Tergelak dalam canda, empati saat
berduka dan tertawa jumawa dalam derai perayaan. Ringan tanpa beban. Saling
membully dan mencandai. Tak ada rasa emosi yang menjadi. Karena kami sama-sama
tahu, hati kami hanya ingin sekedar menghibur diri. Kami sadar di antara
kami banyak perbedaan. Jika ada dua
sisi sungai, selalu ada jembatan untuk menghubungkan. Jembatan kami adalah rasa kasih sayang. Alangkah serunya menerima
segala perbedaan untuk bersama melukis satu keindahan.
Apa karena usia tak jauh beda menjadikan kami selangkah? Maybe yes or no. Saat ini kami hanya
merasa nyaman saat bersama. Kokoh saat merajut asa. Cukup sudah menjadi alasan kuat bagi kami untuk tetap berjalan bersama. Bersamanya
aku berani melukis warnaku apa adanya. Tanpa pencitraan dan tendensi aneka
rupa. It’s me ucapku. Inilah wajahku
tanpa topeng sempurna. Semakin dekat dengan seseorang akan tampak siapa aku
adanya. Aku akan menampakkan sisiku yang berbeda. Sisi yang terkadang tertutupi
oleh tuntutan zona nyaman. Warnaku biru
bukan putih abu-abu. Hebatnya Tazah mau menerimaku tanpa penawaran.
Jangan
mengharap orang lain melewati samudra, jika kau sendiri tak mau melewati
genangan air untuknya. Kami siapkan ruang hati untuk tempat berbagi. Merelakan
sebagian waktu untuk berkomunikasi. Walau itu hanya sepatah kata dan emoticon
sebagai wujud kami saling peduli.
Tazah Emut kepadamu kutitipkan sekeping rasa cinta untuk kita jaga
bersama.
-----000-----
Saat hati mulai terketuk dengan uluran kasih sayang, segera
bukalah pintu hatimu. Jarak, ruang dan perbedaan bukan menjadi alasan untuk
menghindar. Karena Allah tak membutuhkan alasan saat menitipkan sepotong rasa
cinta pada hambaNya. Tergantung pada kita. Membunuh bibit cinta itu sebelum
berkembang, ataukah merawatnya hingga bertunas dan bercabang. Hingga kelak
dahannya yang rindang memberi rasa teduh untuk bersandar.
Jika ingin mendapatkan sahabat yang baik, tanyakan pada
dirimu. Sudahkah engkau menjadi sahabat yang baik pula. Jika memiliki seorang sahabat genggam erat dia, jaga dan
rawatlah dengan sepenuh cinta. Karena melepaskan itu lebih mudah daripada
mendapatkannya.
"I
would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light" Helen Keller
Aku lebih suka berjalan dengan seorang teman dalam gelap,
daripada sendirian dalam terang